Al Qur'an Karangan Manusia, Benarkah? (2)

Al Qur'an Karangan Manusia, Benarkah? (2)
Ilustrasi Al Qur'an

MONITORDAY.COM - Salah satu tantangan yang ditujukkan kapada orang-yang meragukan bahkan mengingkari kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan.  Allah Swt berfirman: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”(QS.al-Baqarah[2]:23).

Gamal al-Banna dalam bukunya “Tafsir al-Qur’an al-karim baina al-Qudama wal al-Muhaddatsin” berdasarkan hasil kajiannya mengungkapkan bahwa karakter komposisi al-Qur’an dibagi dalam beberapa unsur sebagai berikut:1) Harmoni musik dalam struktur al-Qur’an;2) Mekanisme penggambaran yang artistik;3)  Komposisi stilistika yang unik;4) Penghindaran dari penyebutan detil-detil yang berlebihan dan pengisahan yang membosankan;5) Penggunaan perangkat-perangkat yang bisa memberikan efek-efek psikologis;6) Pengungkapan nilai-nilai luhur sebagai pedoman dan rujukan dalam bertindak.

Karakteristik komposisi al-Qur’an yang di ungkapkan Gamal al Banna tersebut, secara otomatis menjadi kriteria bagi yang merespon tantangan al-Qur’an. 

Ketika tantangan ini disampaikan kepada penduduk Mekah dimasa awal di turunkannya al-Qur’an. Hasan Ramadhan dalam kitabnya Ajaib wa Tharaif Abra at-Taarikh mengungkapkan bahwa Musailamah al-Kazzab (Musailamah si Pembohong) seorang yang mengaku sebagai nabi pada zaman Nabi Muhammad dan merupakan teman akrab Amru bin Ash (sebelum beliau masuk islam) orang yang pertama merespon tantangan al-qur’an tersebut.

Suatu ketika, Musailamah bertanya kepada Amru bin Ash,“apa yang telah diturunkan kepada temanmu pada waktu ini?”.

Amru menjawab:”Telah diturunkan kepadanya suatu surat yang ringkas namun mendalam”.“Surat apa itu? ”tanya Musailamah.

Kemudian Amru bin Ash membacakannya:“Wal-asr, Innal-insaana lafi khusr, Illallaziina aamanu wa ‘amiluss-saalihaati wa tawaasau bil-haqqi wa tawaasau bis-sabr”. Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. al-Ashr [103]:1-3).

Setelah mendengarkan apa yang dibacakan oleh Amru bin Ash, Musailamah berfikir sesaat. Kemudian mengangkat kepalanya, lalu ia berkata,”Aku juga telah mendapat surat yang sejenis”. “Apa itu?” tanya Amru.

Musailamahpun berkata: “Ya wabr, ya wabr. Innamaa anta iraadan wa shadr. Wa saa-iruka nafran nakr”. Artinya: “wahai bulu, wahai bulu. Sesungguhnya kamu hanyalah sebutan yang muncul. Sedangkan keseluruhanmu adalah lubang”.

“Bagaimana menurut pendapatmu wahai Amru?”. Demi Allah, sesungguhnya kamu sendiri tahu bahwa sesungguhnya aku mengetahui kalau kamu berdusta”, jawab Amru.

Nampak kesenjangan dalam pemenuhan kriteria komposisi karakteristik al-Qur’an antara yang di wahyukan kepada Muhammad Saw dibandingkan dengan hasil karya Musilamah al-Kazzab.

Pola penulisan Al-Qur’an

Sejauh ini ada dua pendekatan yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam melakukan pengkajian terhadap pola penulisan al-Qur’an.

Pertama, dengan mengembangkan orientasi makna yang terkandung pada firman Alloh: “Di atasnya ada sembilan belas”.(QS.al-Mudatsir[74]:30).

Para mufasir terdahulu memakna ayat terkait dengan jumlah malaikat yang menjaga neraka saqar. Tetapi, Prof. Dr. Rashad Khalifa melalui hasil penelitiannya yang ditulis dalam bukunya “The Ultimate Miracle Of Koran” mengembangkan orientasi makna ayat tersebut terhadap aspek kuantitatif mengenai: komposisi huruf; jumlah kata; jumlah ayat, dan jumlah surat dalam al-qur’an. Kesimpulan dari hasil penelitiannya beliau mengungkapkan bahwa al-Qur’an di tulis dengan pola penulisan menggunakan formulasi “sembilan belas”.

Salah satu contoh yang sangat sederhana untuk memahami pola ini, misalnya: “Bismillahirrahmanirrahim”. Ayat ini tercantum pada setiap awal surat kecuali pada surat al-Taubah [9]. Mengingat jumlah surat dalam al-qur’an sebanyak 114 surat, maka banyaknya “Bismillahirrahmanirrahim” sesuai dengan jumlah surat dalam al-qur’an yaitu 114. Jumlah ini merupakan kelipatan sembilan belas. Kemudian, jika jumlah huruf yang tercantum dalam ayat tersebut dihitung ternyata jumlahnya sembilan belas huruf.

Berdasarkan penelitian lanjutannya Prof. Dr. Rashad Khalifa mengungkapkan, banyak fakta dalam al-qur’an yang menunjukkan bukti bahwa pola penulisannya menggunakan formula “sembilan belas”. Hal ini sulit dikatakan sebagai kebetulan. Dengan demikian, boleh jadi pola penulisan ini telah didesain sedemikian rupa oleh perancangnya. Mungkinkah seorang yang ”ummi” mampu melakukannya?

Kedua, dengan mengembangkan orientasi makna yang terkandung pada firman Alloh:”Dan sungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh yang (dibaca) berulang-ulang dan Al-Qur'an yang agung.” (QS. Al-Hijr[15]: 87).

Para ulama tafsir terdahulu memaknai ayat ini dengan menghubungkan pada surat al-fatihah yang selalu dibaca secara berulang terutama dalam melaksanakan sholat wajib. Sementara itu, Prof. Dr. Manachem Ali dalam tayangan kanal Youtubenya ketika memberikan ceramah dalam pengajian rutin di sebuah Mesjid mengungkapkan orientasi makna ayat ini juga pada aspek kuatitatif mengacu pada jumlah huruf, jumlah kata, penempatan kata, dan penempatan ayat dalam surat. Beliau menyimpulkan bahwa pola penulisan al-qur’an  selain menggunakan formulasi  “sembilan belas” pola penulisan al-Qur’an juga menggunakan formulasi “tujuh”.

Sebagai contoh ungkapan tentang kata “sab’a samawat” yang tercantum pada ayat 29 surat al-Baqarah. Ternyata kata tersebut terncatum pula dalam tujuh surat lain dari 114 surat yang ada dalam al-qur’an. Kemudian, apabila jumlah huruf dari kata “sab’a samawat” tersebut dihitung ternyata berjumlah tujuh huruf. Setelah beliau kata, dan ayat-ayat lainnya dalam al-qur’an ternyata ditemukan pola penulisan yang menggunakan formula”tujuh” yang berulang.

Apakah ini suatu kebetulan?. Melalui pola yang kedua ini, semakin menegaskan bahwa pola penulisan al-qur’an telah didesain dengan sempurna oleh perangcangnya. Bagaimana mungkin seorang yang “ummi” mampu melakukan hal ini?.

Hasil pengkajian al-qur’an yang di iringi dengan pengkajian kondisi empiris ini, secara otomatis membatalkan pemikiran kritis yang mengungkapkan bahwa al-Qur’an karangan manusia (Muhammad Saw). Wallohu’alam bi showab(Tamat)