Amsyong Minyak Goreng dan Daging : Dari Kelola Logistik ke Rantai Pasok Pangan

MONITORDAY.COM - Harga pangan dunia naik 20% imbas konflik. Dunia yang masih didera pandemi dan menggeliat bangkit kembali mendapat pukulan keras akibat Perang Rusia-Ukraina. Komoditas gandum sebagai sumber karbohidrat utama masyarakat di banyak negara mengalami lonjakan harga dan masalah ketersediaan pasokan.
Secara sederhana harga terbentuk dari mekanisme permintaan dan ketersediaan barang. Hingga hari ini Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng dan mahalnya daging. Indonesia menjadi importir daging sapi terutama dari Australia. Juga daging kerbau dari India. Sapi lokal terbatas pasokannya. Pun harganya relatif lebih murah sapi impor.
Tak hanya di Indonesia, minyak goreng bahkan hilang dari toko retail di Jerman. Namun tingkat ekonomi mereka yang tinggi dan jumlah populasi yang jauh lebih sedikit dibanding Indonesia membuat Jerman tidak terlalu rentan. Yang lebih memusingkan mereka adalah pasokan energi yang sebagian berasal dari Rusia kini terputus.
Momentum Ramadhan juga menjadi momok tersendiri. Di bulan puasa dimana perut dikendalikan, kebutuhan pangan atau sembako justru meningkat. Menu buka puasa dan sahur ternyata lebih banyak dibanding hari-hari biasa. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan seluruh pemangku kepentingan sistem pangan nasional agar kelangkaan dan lonjakan harga pangan dapat dikendalikan dengan baik.
Pertama, permintaan yang tinggi. Jumlah penduduk Indonesia sekira 277 juta jiwa saat ini. Semua butuh makan. Kebutuhan pangan masih menjadi agenda utama bagi masyarakat Indonesia. Bekerja dan berusaha dilakukan dalam rangka cari makan atau sesuap nasi. Jumlah permintaan yang tinggi ini menjadi potensi kerawanan tersendiri. Sedikit saja pasokan goyah, timbul gejolak di pasar.
Kedua, keterbatasan suplai akibat perpindahan aliran pasokan. Suplai bahan pangan kita juga menjadi faktor yang sangat menentukan. Beras misalnya, meski produksi beras Indonesia tinggi tak jarang kita harus mengamankan stok untuk mengendalikan risiko kekurangan pasokan. Iron Stok atau stok pengaman yang terkadang harus membusuk di gudang persediaan karena pada akhirnya produksi dalam negeri mencukupi. Apalagi jika ada lonjakan permintaan ekspor komoditas tertentu seperti kelapa sawit.
Ketiga, data dan manajemen logistik yang tidak terintegrasi. Integrasi data secara vertikal dan horisontal masih menjadi kendala di Indonesia. Data dari masing-masih daerah belum sepenuhnya akurat dan cepat diakuisisi oleh sistem data di pusat. Demikian pula data antara Bulog, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan. Sisi politik sering membuat integrasi data terhambat.
Keempat, kelemahan dalam kelola rantai pasok. Manajemen logistik saja tidak cukup. Diperlukan manajemen rantai pasok atau supply chain management yang mampu menangani proses distribusi pangan dari hulu ke hilir. Ketersediaan CPO di hulu hingga minyak goreng sampai di tangan konsumen atau end-user harus terbangun dan terpantau dengan cermat.
Kelima, kelemahan dalam pengawasan yang memberi ruang bagi penimbun dan kartel pangan. Meski ada UU Pangan, masih banyak celah yang dapat digunakan oleh sejumlah pihak untuk mengambil keuntungan dari situasi kritis dimana pasokan dan permintaan cenderung tidak berimbang.