Alquran, Apakah Fiksi?
Kontroversi kitab suci sebagai fiksi terus bergulir. Apakah murni urusan hukum, atau ada permainan politik?

MONDAYREVIEW- Ketika Rocky Gerung dilaporkan ke polisi, dengan tuduhan telah menistakan agama, karena ucapannya “Kitab Suci adalah Fiksi”, mungkin kita curiga, kasus ini mencuat bukan semata-mata bukan urusan hukum, tapi ada tendensi politik untuk membungkam Rocky. Profesor filsafat politik ini memang dikenal sering melontarkan kritikan yang sarkastik terhadap pemerintah.
Kecurigaan ini pula bisa saja dialamatkan ke orang-orang yang mendukung Rocky Gerung. Kelompok yang dulu menggiring Ahok ke penjara, karena penistaan agama, kali ini tak mau mempersoalkan Rocky. Ratna Sarumpaet, misalnya. Aktivis perempuan ini berpendapat kasus Ahok dan Rocky berbeda. “Rocky tidak sedang menistakan agama, karena dia lebih dulu membuat definisi tentang fiksi,” jelasnya.
Tak hanya Ratna, sejumlah aktivis dari era 70-an hingga 90-an juga telah menyatakan sikapnya, dengan berkumpul di kawasan Menteng, Jakarta, dengan tema #save Rocky Gerung #save Demokrasi. Acara ini digagas oleh para aktivis untuk menyelamatkan demokrasi, karena berbeda pendapat di negeri ini harus dilindungi.
Pro konta pernyataan Rocky sebenarnya berawal, karena perbedaan cara pandang dan definisi terhadap fiksi. Karena, fiksi yang dimaksud Rocky, adalah energi untuk membangkitkan imajinasi. Berbeda dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fiksi artinya cerita hayalan
Menurut Hadi Kharisman, seorang akademisi dalam bidang Filsafat Islam, menilai bahwa al-Quran sebagai sebuah kitab suci, memang sering menggunakan model tamsil atau perumpamaan sebagai suatu model pembelajaran. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ayat, misalnya pada Surat Al-Baqarah [17-20]; Az-Zumar [2]; al-Kahfi [54]; Muhammad [15]; Yunus [24]; al-Hujurat [12]; ar-Rad [17] dan lain sebagainya.
Tamsil-tamsil imajinatif semacam ini berimpah dalam kitab suci, bukan sekedar energi demi membangkitkan imajinasi, namun demi mengarahkan kesadaran moral masyarakat dalam bersikap melalui suatu tipe wicara yang imajinatif, sehingga nilai-nilai kompleksitas kenyataan dan kebenaran yang hendak disampaikannya menjadi singkat, padat dan mudah dicerna, tanpa mengurangi nilai kebenaran sebagai wahyu.
Meski demikian, menurut Hadi, pernyataan Rocky bahwa kitab suci adalah fiksi, meski bukan fiktif, sebagai sebuah ketidakhati-hatian dalam menyatakan pendapat di depan publik. “terma “fiksi” yang digunakannya tidak difahami dalam konsepsi yang populer, sebagai suatu kebohongan yang beroposisi dengan kebenaran. “Jelas hal ini sangat bertentangan dengan realitas kitab suci yang diyakini kaum beriman,” jelas dosen Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, Jakarta ini
Rocky berkali-kali menyebut fiksi sebagai hal “positif”, artinya sinergi dengan kemungkinan manusia menyempurnakan diri dan meraih kenyataan hidup yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Hal ini mengingatkan kita kepada konsep mitos dalam semiotika Roland Bhartes, misalnya. Mitos dalam teori tersebut bukanlah mitos sebagaimana difahami umum, yaitu sebagai sebuah cerita fiktif yang tidak berdasarkan kenyataan.
Dalam teori ini, menurut Hadi, mitos bukan sebagai ide, gagasan yang bersifat langsung, melainkan cara, sistem komunikasi, di mana dalam cara itu sendiri terdapat suatu pesan yang bermakna dalam membentuk cara berfikir dan bertindak manusia.Pendapat ini diamini dari filsuf Islam modern Muhammad Arkoun dan teolog Jerman R. Bultman.
Menurut kedua ilmuwan tersebut, dalam teori demitologisasi, terdapat makna dan tujuan tertentu yang dikehendaki oleh kitab yang dibungkus lewat beragam kisah. Karena itu, Hadi menyatakan bahwa jika ‘fiksi’ yang dimaksud Rocky adalah mitos dalam konteks semiotika semacam ini, maka pernyataannya tidak perlu difahami sebagai sebuah dongeng yang non-sense, melainkan sebuah cara berbicara yang sangat bermakna, dan dengan arah ideologisasi yang jelas.
Model mitos semacam ini, menurut Hadi sebenarnya banyak ditemukan dalam konteks budaya. Misalnya, orang Sunda sering bicara tentang pamali (pantangan tidak adab). Bantal di kaki pamali. Loh, apa hubungannya? Sebuah cara mengajarkan moralitas bahwa kita harus menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan fungsinya dan proporsionalitas.
Jika urusan bantal saja harus proporsional, bagaimana dengan urusan lain yang lebih tinggi, misalnya terkait sikap menempatkan sesama makhluk, sesama manusia? Mitos-mitos Sunda misalnya merupakan sebuah tipe wicara yang membentuk orientasi sikap proporsional dan bijak dalam memperlakukan ruang, waktu, dan semesta (termasuk manusia dan seluruh entitas semesta).
Bagi para ilmuwan yang jujur, tentu perbedaan pendapat dan cara pandang adalah hal biasa. Mereka bisa berdebat dengan santun, dengan menghadirkan argumentasi yang kokoh. Siapa pun boleh saja tidak setuju dengan pernyataan Rocky Gerung. Jalan dialog tentu lebih baik daripada jalur hukum.
Rocky pun tidak tertarik melaporkan balik para pelopornya, jika ternyata pasal penistaan agama tidak terbukti, “Saya tidak mungkin melaporkan tempurung,” sebagaimana ia ungkapkan di akun twiter pribadinya tanpa mau memperjelas apa yang dimaksudnya. Tempurung, adalah batok kelapa yang keras. Mungkin, ini permisalan bagi orang yang tidak siap dengan perbedaan pendapat.
Berbagai permisalan bertebaran dalam ayat-ayat Alquran. Orang yang hatinya keras, tidak mau menerima pengajaran dan petunjuk dari Tuhannya, dipermisalkan hatinya dengan batu.”...kemudian hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (QS Al Baqarah: 74).
Karena bukan seorang muslim, Rocky mungkin belum pernah membaca isi Alquran secara mendalam. Kitab suci umat Islam ini tidak hanya memuat cerita masa depan (akhirat) yang disebut “fiksi” oleh Rocky, juga berisi hukum sebagai panduan hidup dan ibadah, serta kisah orang-orang terdahulu, bahkan ilmu pengetahuan modern, yang sudah banyak dibuktikan oleh para ilmuwan abad ini.