Akurasi LHKPN Masih Rendah, Kepatuhan Juga Turun

Akurasi LHKPN Masih Rendah, Kepatuhan Juga Turun
ilustrasi gedung KPK/ net

MONITORDAY.COM - Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 95%  tidak akurat. Demikian kata KPK. Publik pun menengarai banyak pejabat menyembunyikan hartanya. Setidaknya ketidakakuratan ini mengesankan bahwa jabatan dan harta masih berada dalam hubungan yang remang-remang. Tak ada alasan untuk ditutupi jika perolehan harta memang berasal dari sumber-sumber yang jelas dan halal.  

LHKPN dari sisi kepatuhan merosot hingga 62% dibanding periode sebelumnya. Ini menandakan kemunduran dalam upaya menciptakan clean and good governance dalam penyelenggaraan negara. Dengan angka tersebut masih banyak agenda pemberantasan korupsi yang harus dilakukan sejak tahap pencegahan.  

Yang hartanya paling banyak tentu menjadi sorotan. Dan publik segera mafhum kala mengetahui bahwa yang memiliki harta terbanyak adalah Tahir yang merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Ia memang berlatar belakang pengusaha sukses dan menantu dari konglomerat grup Lippo. Bos grup Mayapada ini juga seorang filantropis ternama. 

KPK tentu perlu menggarisbawahi harta kekayaan pejabat lainnya. Terutama para menteri dan anggota DPR. Juga para pejabat di lingkaran pemerintahan yang menempati posisi strategis. Dengan demikian publik dapat semakin percaya dan terinspirasi bahwa negara dan pemerintahan ini dijalankan dengan benar, baik, dan bersih. 

Fakta bahwa para pejabat semakin kaya menjadi pertanyaan besar di benak publik. Setidaknya hal ini tercermin dari fakta 70,3 persen pejabat negara melaporkan terjadinya kenaikan harta. KPK menyatakan bahwa selama pandemi kenaikan harta tertinggi di tingkat menteri 58 persen dan harta anggota DPR atau MPR naik 45 persen yang masing-masing mengalami penambahan sekitar Rp 1 milliar. Selanjutnya, laporan harta tetap terdapat pada 6,8 persen penyelenggara Negara, dan penurunan harta dialami sebanyak 22,9 persen pejabat. 

Meski demikian kita perlu membandingkan bahwa selama pandemi harta para pengusaha atau kalangan swasta di lapisan tertentu juga semakin bertambah. Mungkin ada aset yang justru nilainya semakin tinggi saat pandemi, meski inflasi relatif rendah bahkan terkadang terjadi deflasi. 

Yang juga menyita perhatian adalah laporan yang memperlihatkan nilai harta minus beberapa pejabat. Bahkan ada yang hingga minus 1,7 Triliun Rupiah. Utangnya jauh lebih banyak daripada aset yang dimiliki. Publik tentu berhak tahu bagaimana bisa seorang pejabat memiliki utang sebanyak itu. Dan bagaimana risiko bila seorang pejabat banyak utang. Atau semata ada kesalahan dalam ‘pengetikan’ laporan. 

Namun ada beberapa ‘laporan harta minus’ lainnya yang boleh jadi merepresentasikan kondisi yang sebenarnya. Seorang pejabat atau penyelenggara negara dapat saja memiliki persoalan keuangan karena usaha yang bangkrut atau beban keuangan lainnya yang terakumulasi dan menjadi utang bertumpuk.