Ahok Sang Superbrand yang Semoga Bisa Salah Juga
Kecintaanmu terhadap seorang politikus jangan sampai membuatmu abai melaksanakan nilai-nilai demokrasi.

MONDAYREVIEW.COM – Dalam istilah marketing sosok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bagaikan superbrand. Sebagai superbrand, Ahok seolah selalu berada di kutub kebenaran bagi penggemar garis kerasnya. Lalu apakah ini sehat secara demokrasi?
Demokrasi memiliki nilai-nilai di dalamnya. Lord Acton diantaranya pernah menyatakan power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Hal ini menunjukkan bagaimana perlunya laku kekuasaan untuk mengalami checks and balances. Dalam skema demokrasi pun dikenal istilah pemisahan dan pembagian kekuasaan.
Selama menjabat, Ahok yang bagaikan superbrand menunjukkan telah abai pada konsep checks and balances. DPRD DKI Jakarta oleh Ahok ditabalkan sebagai para maling anggaran. Pihak swasta yang dinilai bersalah diminta untuk memberikan konsesi seperti terkait reklamasi, Simpang Susun Semanggi.
DPRD DKI Jakarta jelas secara tata negara dapat berperan dalam pengawasan anggaran dan dalam pembuatan aturan Undang-Undang. Tampil superior sebagai penjaga dan pahlawan anggaran, sementara DPRD DKI Jakarta dinihilkan jelas berpotensi untuk meruntuhkan checks and balances. Jika di masa Orde Baru, parlemen dianggap sebagai lembaga stempel; di masa Ahok, parlemen ibu kota RI diruntuhkan kredibilitasnya sebagai lembaga. Ujung-ujungnya dapat sama yakni tidak berjalannya pengawasan.
Sementara terkait pihak swasta yang “dihukum” lalu memberikan imbal balik dalam kasus reklamasi dan Simpang Susun Semanggi, secara adminstrasi pemerintahan harus jelas mekanismenya, termasuk pengawasan anggarannya. Terlihat “kreatif” membangun tanpa menggunakan APBD, namun setiap sen dari anggaran sudah semestinya memenuhi transparansi dan pengawasan dari lembaga lainnya.
Superbrand Ahok juga masih diterapkan para pendukung garis kerasnya di kasus penistaan agama. Padahal jika berkaca pada kasus penistaan agama sebelumnya terdata HB Jassin dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun, Arswendo Atmowiloto terkena pasal 156a KUHP dan dipenjara selama lima tahun, Lia Eden divonis dengan hukuman dua tahun enam bulan penjara, Rusgiani mendekam di Lembaga Pemasyarakatan selama 14 bulan.
Ranah hukum yang “dipaksa” untuk membebaskan Ahok dari segala tuduhan jelas akan mencederai rasa keadilan jika berkaca pada kasus yang sudah-sudah dalam penistaan agama.
Jika superbrand terhadap Ahok ini terus berlaku jangan-jangan terjadi gelembung dari apa yang telah dikerjakan oleh sosok yang pernah berkecimpung di Partai Golkar dan Gerindra tersebut. Ahok menjadi sosok mitologi pahlawan tanpa cela. Sementara oknum pendukungnya melontarkan kata makian dan menghujat tokoh ataupun lembaga-lembaga yang ada di negeri ini.
Kecintaanmu terhadap seorang politikus jangan sampai membuatmu abai melaksanakan nilai-nilai demokrasi. Jika sang politikus melabrak nilai demokrasi, maka ingatkanlah. Jika para pendukung sang politikus melabrak nilai demokrasi, maka ingatkanlah. Dengan demikian dukungan yang diberikan berbasiskan pada nilai. Jika nilai-nilai demokrasi masih dijalankan teruslah mendukungnya, jika dilanggar, maka ingatkanlah.
Dalam serial Quantico 2 dikisahkan bagaimana Clay (Hunter Parrish) sang putra Presiden yang berusaha menyelamatkan Amerika Serikat tergoda untuk menggunakan cara yang serupa dengan para antagonis. Lalu pertanyaan dilantunkan haruskah untuk tujuan yang baik menggunakan cara-cara yang tidak baik?
Analogi serupa pun dapat disematkan jika Ahok dan para pendukungnya berkeinginan untuk melakukan perbaikan, maka marilah berpegang pada nilai-nilai demokrasi. Dengan tetap kukuh pada nilai-nilai demokrasi maka Ahok sang superbrand pun bisa pula tersentuh kesalahan dan lupa. Bukankah setiap manusia tak terlepas dari sifat salah dan lupa?