Dari Tenaga Surya Hingga Nuklir
Bumi makin panas. Perubahan iklim nyata kita rasakan. Upaya menekan penggunaan energi fosil terus diupayakan. Disamping ketersediaan energi fosil makin menipis. Pengembangan kendaraan listrik perlu didukung dengan penyediaan listrik oleh pembangkit ramah lingkungan bersumber dari energi baru terbarukan. Mau tidak mau harga dan aspek keekonomian menjadi pertimbangan penting agar proyek energi ramah lingkungan dapat terwujud. Pembangkit Listrik Tenaga Air menghadapi pungutan daerah yang cukup tinggi. Pembangkit Listrik Tenaga Surya masih belum terbentuk ekosistemnya. Belum banyak industri yang terlibat. Sementara Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berhadapan dengan isu keamanan, dampak lingkungan dan resistensi dari masyarakat.

MONDAYREVIEW.COM – Bumi makin panas. Perubahan iklim nyata kita rasakan. Upaya menekan penggunaan energi fosil terus diupayakan. Disamping ketersediaan energi fosil makin menipis. Pengembangan kendaraan listrik perlu didukung dengan penyediaan listrik oleh pembangkit ramah lingkungan bersumber dari energi baru terbarukan.
Mau tidak mau harga dan aspek keekonomian menjadi pertimbangan penting agar proyek energi ramah lingkungan dapat terwujud. Pembangkit Listrik Tenaga Air menghadapi pungutan daerah yang cukup tinggi. Pembangkit Listrik Tenaga Surya masih belum terbentuk ekosistemnya. Belum banyak industri yang terlibat. Sementara Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berhadapan dengan isu keamanan, dampak lingkungan dan resistensi dari masyarakat.
Pemerintah tengah menggodok rancangan peraturan presiden (perpres) yang akan mengatur harga listrik bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT). Langkah tersebut sebagai terobosan kebijakan pemerintah untuk membangun kepercayaan investor menjalankan bisnis energi bersih tersebut melalui pengaturan skema harga yang kompetitif.
Rancangan Perpres EBT ini disusun bersama-sama dengan para pelaku usaha. Indonesia komunikasikan dan melakukan benchmark terhadap proyek-proyek yang ada. Fasilitasi ini diharapkan mendukung pendanaan bagi dunia usaha.
Peraturan Menteri ESDM belum cukup menstimulus lahirnya kontrak-kontrak EBT yang baru. Untuk membangun level kompetitif, harga EBT nanti ditentukan melalui Perpres EBT. Pengoptimalan pasar EBT di Indonesia menjadi tantangan tersendiri mengingat skala keekonomian sering kali dianggap kurang kompetitif yang ditandai dengan tingginya harga beli EBT.
Pabrikan-pabrikan PLTS, baru pabrikan solar panel dengan kapasitas kecil-kecil, paling besar 100 Mega Watt (MW). Apalagi, bahan bakunya masih impor, akibatnya harganya menjadi cukup tinggi.
Sebagai perbandingan, Sutijastoto mengungkapkan harga PLTS di Indonesia masih mencapai satu dolar AS per Watt peak, sementaraTiongkok sudah di level 20-30 sen dolar AS per Watt peak dengan kapasitas antara 500 MW hingga 1.000 MW. Demikian menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Sutijastoto.
Perpres EBT ini akan mampu menjadi jawaban atas berbagai permasalahan saat ini dengan memberikan net benefit yang positif. Dengan pemanfaatan EBT yang masif maka akan menciptakan nilai-nilai ekonomi baru dan memberikan banyak manfaat seperti menghasilkan energi bersih; menciptakan harga listrik yang terjangkau; dan meningkatkan investasi nasional serta daerah.
Di samping itu, pengembangan EBT juga akan mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi dalam negeri; mendorong munculnya pengusaha baru; hingga meningkatkan ketahanan energi dan ekonomi nasional.
Sumber-sumber energi nasional itu ada banyak di dalam negeri, sehingga kita mampu keluar dari jebakan neraca perdagangan. Urgensi lain dari perpres ini adalah belum ada kontrak jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) pembangkit IPP, yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Mekanisme penentuan harga yang akan ditentukan dalam Rancangan Perpres EBT. Hanya ada tiga, yaitu feed in tariff, harga patokan tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan. Pemerintah berharap beleid baru ini mendapat dukungan dari stakeholder terkait sebagai bagian dari sinergi dan sinkronisasi atas instrumen kebijakan yang akan dijalankan di kemudian hari.
Ini yang terjadi di PLTA, pungutan air baik pusat maupun di daerah cukup besar, bahkan sampai Rp250 per kWh.
Tenaga Nuklir Sebagai Solusi
Menurut Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dapat dibangun untuk mendukung pusat ekonomi baru di luar wilayah Jawa dan Bali.
Membangun PLTN tidak di Jawa Bali tapi letaknya di luar Jawa, dipilih sekaligus diproyeksikan sebagai pusat industri baru dan pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Ketahanan energi juga dapat didukung dengan diversifikasi sumber energi dengan melibatkan PLTN di dalamnya. Memang kebutuhan kita atas pasokan listrik yang kuat itu membutuhkan PLTN karena Indonesia ini membutuhkan pasokan yang bervariasi bukan hanya satu jenis, energi terbarukan tetap diserap sesuai potensi lokal, gas dipotimalkan, dan sebagainya.
Target energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada bauran energi nasional pada 2025 juga sulit dicapai jika PLTN tidak masuk. Sekalipun target EBT mampu mencapai 23 persen dari bauran nasional, namun itu diperkirakan tidak terjadi dalam tahun 2025, tapi suatu saat mungkin bisa, tapi membutuhkan waktu yang lebih lama.
Untuk mendukung sistem transportasi berbasis listrik, maka masuk akal kalau sumber energi juga didukung dari pembangkit listrik tenaga air dan nuklir. Jika ingin membangun ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan impor di masa depan, maka PLTN harus dipersiapkan dan dijadikan sumber energi.