Ahmad Riza Patria: Tidak Banyak Negara di Dunia yang Melakukan Pileg & Pilpres Bersamaan Waktunya
Indonesia negara demokrasi ketiga terbesar di dunia.

MONDAYREVIEW.COM – Bulan Puasa tidak memperlambat langkah Pansus RUU Pemilu untuk merampungkan pekerjaannya. Terbukti pada hari Senin (5/6), Pansus RUU Pemilu rapat dengan pihak pemerintah hingga menjelang waktu Maghrib. Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu, Ahmad Riza Patria mengaku optimis UU Pemilu sudah on the right track dan akan selesai sebelum Lebaran ini.
Ditemui seusai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta tersebut, politikus Partai Gerindra ini bicara banyak. Diantaranya terkait isu presidential threshold. “Presidential threshold bagi Gerindra sudah harga mati 0%,” kata Ahmad Riza Patria yang pernah maju sebagai Cawagub DKI Jakarta pada tahun 2012.
Riza Patria yang pernah berkarya di KPU DKI Jakarta ini juga percaya Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia menghargai keberagaman dan perbedaan dalam partai politik.
“Kita tidak melarang ada partai agama seperti apakah Islam. PDS dulu, silahkan. Nanti ada partai dari Kong Hu Cu, Hindu, Buddha, selama melalui mekanisme Undang-Undang yang ada,” ungkap putra Ketua MUI, Drs. H.Amidhan.
Berikut wawancara khusus yang dilakukan oleh tim Monday Review dengan Ahmad Riza Patria.
Perkembangan RUU Pemilu sejauh ini? Ada pemberitaan yang bilang terlalu lamban nih, sehingga khawatir pemilu 2019?
Kalau melihat jadwal sebenarnya tidak terlambat karena yang pertama, tahapan pemilu itu ada 18 bulan. Berarti tahapan pemilu masih nanti bulan Oktober. Jadi tidak terlambat. Yang kedua Undang-Undang Pemilu ini menggabungkan tiga Undang-Undang yakni Pileg, Pilpres, dan UU Penyelenggaraan Pemilu.
Jadi dalam setiap Undang-Undang biasanya diselesaikan dua masa sidang. Jadi kalau tiga Undang-Undang harusnya diselesaikan dalam enam masa sidang. Sementara sekarang kita baru masuk tiga masa sidang. Tapi demikian kita akan selesaikan dalam tiga masa sidang. Kita optimis sebelum Lebaran ini akan selesai UU Pemilu ini. Jadi tidak terlambat, mengingat tahapan juga tidak terlambat karena memang bobotnya berat sekali.
Kalau pemilu 1955 dikenal pemilu yang bersih, 2019 bersamaan semuanya?
Iya pemilunya kan serentak. Ini sesuatu yang baru ya. Bahkan di banyak negara juga tidak banyak negara di dunia yang melakukan Pileg dan Pilpres dalam satu kesatuan waktu. Artinya serentak Pileg dan Pilpres. Ini sesuatu yang baru bagi Indonesia dan di banyak negara umumnya tidak seperti ini. Jadi ini sesuatu hal yang baru, mudah-mudahan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia bisa melalui ini dengan lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya. Walaupun ini sesuatu yang baru.
Pak Riza sendiri optimis pemilu 2019 tidak terjadi konflik horizontal?
Sejauh ini saya menyakini pemilu ke depan bisa tetap lebih baik. Sekalipun suhu politik sudah memanas ya terkait pilkada 2018 kemudian nanti pemilu serentak 2019. Harapannya bisa selesai dengan baik.
Regulasinya kita sempurnakan sedemikian. Supaya pelaksanaan pemilu bisa lebih baik lagi.
Pak Riza di Gerindra dari dapil Jawa Barat. Bagaimana melihat Pilkada 2018?
Saya berharap Pilkada 2018 dapat lebih baik lagi. Karena dari dua gelombang pemilu serentak sudah kita lalui secara baik. Secara umum 2015 dan 2017. Harapan kami pemilu 2018 bisa lebih baik lagi.
Terkait dana parpol?
Terkait dana parpol sebagaimana negara-negara demokrasi di dunia lainnya perlu ada perhatian dan keseriusan dari pemerintah untuk meningkatkan dana parpol. Kita tahu Indonesia ini negara demokrasi terbesar ketiga tapi bantuan, perhatian pemerintah terhadap bantuan politik dana parpol sangat rendah. Rp 108/suara. Di Meksiko itu Rp 60.000/suara. Pemerintah akan mengusulkan naik 10 kali lipat. Kita syukuri itu sebagai kebijakan pemerintah, sekalipun angka itu masih jauh dari cukup. Kalau dibandingkan negara lainnya, masih jauh dari cukup.
Terkait Pilpres 2019 membuka peluang calon independen?
Tidak. Undang-Undang tidak memberi kesempatan calon independen maju di dalam pilpres. Itu juga sudah diatur di dalam UUD 1945. Independen yang boleh hanya di Pilkada.
Terkait partai, dulu Sukarno sempat hanya mau 1 partai, tahun 1957 pernah juga bilang ‘Mari kita kuburkan partai-partai’. Di masa Orde Baru, 2 partai dan 1 Golkar.
Pansus memutuskan tidak ada pasal yang menyebutkan perlu adanya penyederhanaan partai politik. Tapi demokrasi secara alamiah, nanti akan mengatur dengan sendirinya. Bahwa kebutuhan jumlah partai itu akan berkurang dan akan mencapai angka yang stabil sesuai dengan peradaban masyarakat, kemajuan perkembangan zaman. Apalagi Indonesia sesungguhnya negara yang sangat luas, penduduknya besar, pluralismenya besar kebhinnekaan. Memang perlu dicari angka yang pas jumlahnya berapa partai yang ada di Indonesia. Tapi tentu tidak seperti Orde Baru. 3 itu sangat sedikit. Saya kira 8 sampai 12 angka yang cukuplah buat Indonesia.
Kalau presidential threshold sendiri?
Presidential threshold bagi Gerindra sudah harga mati 0%. Karena 0% sesuai dengan konstitusi ya. Karena kalau diatur dia ada presidential threshold-nya maka itu akan bertentangan dengan pemilu serentak. Karena angka presidential threshold yang digunakan tersebut, sudah digunakan pada pemilu 2014.
E-KTP sudah bisa selesai sebagai data untuk pemilu 2019?
E-KTP sudah diatur oleh Undang-Undang, 2017 ini sudah harus selesai. Nanti 2018 diharapkan E-KTP 100% selesai. Apalagi pemilu 2019.
Terkait perpecahan partai, seperti PPP. Yang bisa ikut di 2019?
Sudah diatur dalam Undang-Undang. Mekanismenya sesuai dengan tahapan internal di Mahkamah Partai. Nanti pada PTUN, baru pada tahap Kasasi.
Terkait politik aliran?
Indonesia negara yang plural, yang bhinneka. Kita mengenal ada satu Pancasila, menghargai, menghormati keberagaman dan perbedaan termasuk dalam partai politik. Kita tidak melarang ada partai agama seperti apakah Islam, PDS dulu, silahkan. Nanti ada partai dari Kong Hu Cu, Hindu, Buddha, selama melalui mekanisme Undang-Undang yang ada.
Agar KPU, Bawaslu menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara yang adil, tidak partisan?
Kita sepakati KPU itu orang yang independen. Bahkan dia lima tahun sebelum pemilu tidak boleh berpartai. Itu sudah diatur.
Pak Riza melihat partai politik kental dengan personal. PDIP dengan Megawati, Partai Demokrat dengan SBY, di partai bapak sendiri dengan Prabowo. Itu bagaimana?
Itu sesuai dengan perkembangan zaman, peradaban. Partai itu berdiri kan, berlangsungnya partai karena elektabilitas. Partai yang kuat yang elektabilitasnya tinggi. Dan untuk mencapai itu kan tokoh, salah satu parameter yang penting adalah ketokohan.
Untuk itulah orang-orang yang memiliki ketokohan yang besar, itulah yang punya pengaruh. Makanya pak SBY bikin partai, pak Amien dulu bikin partai, Megawati bikin partai, tokoh-tokoh besar bikin partai untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, konstituen. Masing-masing punya konstituen. Bapak Prabowo bikin partai dan lainnya. Saya kira itu sah-sah saja.
Namun demikian nanti pada zamannya nanti semakin berkembang, semakin modern suatu zaman, partai semakin maju, maka nanti besarnya suatu partai tidak lagi dipengaruhi oleh figur ketua umum. Tapi sejauh mana partai mampu memperjuangkan aspirasi rakyatnya. Nanti itu faktornya.
Sementara ini faktornya memang masih figur. PDIP masih menjual Sukarno, Megawati. PAN juga begitu ada pak Amien Rais. Demokrat ada pak SBY. Gerindra ada pak Prabowo dan lain-lain. Nanti ke depan yang menjadi faktor utama sistem dari partai itu dan sejauh mana partai tersebut bisa memperjuangkan aspirasi rakyat