Zona Kuning dan Kesehatan Mental Peserta Didik

Setelah enam bulan lebih wabah Covid-19 berjalan, ternyata tidak semua wilayah Indonesia terdampak langsung pandemi virus korona. Sehingga Pemerintah melalui Satgas Covid-19 melakukan ketegorisasi, yakni zona hijau (tidak terdampak), zona kuning (risiko rendah), zona orange (risiko sedang) dan zona merah (risiko tinggi).

Zona Kuning dan Kesehatan Mental Peserta Didik
Nabil Syuja Faozan

SETELAH enam bulan lebih wabah Covid-19 berjalan, ternyata tidak semua wilayah Indonesia terdampak langsung pandemi virus korona. Sehingga Pemerintah melalui Satgas Covid-19 melakukan ketegorisasi, yakni zona hijau (tidak terdampak), zona kuning (risiko rendah), zona orange (risiko sedang) dan zona merah (risiko tinggi).

Dalam dunia Pendidikan, agar proses belajar mengajar pada lembaga Pendidikan mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi dapat berjalan baik, maka berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tentang Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi diaturlah mana daerah yang izinkan melaksanakan pembelajaran tatap muka di kelas dan mana daerah yang memang harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Sehingga keamanan dan keselamatan pendidik, anak didik, tenaga kependidikan, orang tua dan warga tetap terjamin.

Diizinkannya sekolah yang berada di zona kuning dan hijau untuk melakukan pembelajaran tatap muka menuai banyak kekhawatiran akan makin menyebarknya wabah Covid-19 dari berbagai pihak. Hal itu wajar mengingat hingga sekarang penyebaran virus korona belum sepenuhnya terkendali. Disisi lain, dibukanya kembali sekolah yang berada di zona kuning dan hijau merupakan kesadaran Pemerintah akan banyaknya aspirasi masyarakat tentang kendala dan dampak negatif dari pembelajaran jarak jauh (PJJ). Meski begitu, pembelajaran jarak jauh (PJJ) akan tetap menjadi opsi yang dilakukan agar hak Pendidikan bagi para peserta didik tetap terpenuhi di tengah pandemi.

Berdasarkan survei yang dilakukan Cyrus Network, mayoritas orang tua murid setuju sekolah untuk dibuka kembali. Dalam survei yang dirilis Senin (27/7), sebanyak 80% responden menyatakan setuju jika sekolah baik TK,SD,SMP maupun SMA dibuka kembali meskipun saat ini masih pandemi Covid-19. Survei tersebut menggambarkan bahwa belajar di rumah (BDR) kurang diminati dibandingkan belajar di sekolah. Namun demikian, Pemerintah memilih jalan tengah dengan melihat situasi dan kondisi di masing-masing daerah.

Dalam siaran pers Nomor : 219/Sipres/A6/VIII/2020 Kemendikbud menjelaskan bahwa dilakukannya pembelajaran tatap muka di zona kuning dan hijau harus dilakukan secara bertahap. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar dan Menengah Kemedikbud Jumeri mengakui Pemerintah menyadari bahwa pembukaan layanan tatap muka berpotensi menyebabkan cluster-cluster baru.

Kemendikbud, lanjut Jumeri, sudah mendapatkan laporan dari berbagai daerah bahwa timbul cluster-cluster yang disebabkan oleh pembukaan kembali satuan Pendidikan di zona kuning. Namun, perlu diluruskan bahwa hal ini bukan terjadi pada bulan Agustus Ketika penyesuaian SKB Empat Menteri dikeluarkan melainkan akumulasi kejadian dari bulan Maret sampai Agustus. Selain itu para peserta didik dan pendidik tidak terpapar disatuan Pendidikan melainkan di lingkungan mereka masing-masing.

Hal tersebut yang mungkin sampai hari ini banyak satuan Pendidikan  mempertimbangkan untuk dibukanya kembali sekolah atau menunggu pandemi ini reda. Lantas, bagaimana dengan kesehatan mental peserta didik selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat pandemi?. 

Kesehatan mental bukanlah hal yang sepele dan dianggap sebelah mata. Selama PJJ, banyak peserta didik yang pada akhirnya tumbang karena stress dan kelelahan. Hal inilah yang memicu Pemerintah untuk menghimbau para guru agar melakukan penilaian diagnostik. Penilaian dilakukan di semua kelas secara berkala untuk mendiagnosis kondisi kognitif dan non-kognitif siswa sebagai dampak pembelajaran jarak jauh.

Penilaian non-kognitif ditujukan mengukur aspek psikologis dan keadaan emosional siswa. Hal ini perlu dilakukan, menimbang karena banyaknya orang yang depresi karena pandemi Covid-19. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengungkapkan aneka tekanan secara psikologis yang mendera anak selama mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, tekad sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum telah membuat siswa merasa terbebani. Retno memberikan contoh kasus anak yang dirawat di rumah sakit karena beratnya penugasan selama PJJ. Ada juga siswa yang tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ atau mengikuti ujian secara daring ; “Yang paling parah adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang nyaris tidak terlayani oleh pendidikan” katanya (Republika, 23/7).

Oleh karena itu, Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang adil dan tepat. Tanpa adanya keraguan sedikitpun. Selain itu, kita sebagai peserta didik tidak melupakan kebiasaan di sekolah / kampus untuk diterapkan dirumah bersama keluarga seperti saling mendengarkan dan sharing, menjaga hubungan diantara orang-orang tersayang, membuat suasana pembelajaran di rumah semenarik mungkin agar tidak mudah bosan dan tidak perlu panik berlebihan tentang pembelajaran jarak jauh agar kesehatan mental kita tetap sehat dan terkendali selama pandemi.

Kesehatan mental perlu mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Sudah banyak kasus-kasus selama pembelajaran jarak jauh yang merusak kesehatan mental para peserta didik. Hal inilah yang harus menjadi kekhawatiran bersama agar para peserta didik tidak hanya terpenuhi haknya sebagai pelajar tetapi juga terpenuhi haknya sebagai manusia yang sehat jiwa raga.

Maka dengan adanya kebijakan kurikulum  darurat dan tunjangan kuota selama empat bulan bagi guru/dosen dan siswa/mahasiswa diharapkan akan mengurangi beban mental tenaga pendidik dan kependidikan. Sehingga kesehatan dan keselamatan jiwa raganyanya tetap terjamin. Wallahua’lam.

Nabil Syuja Faozan
(Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta)