Vandalisme Mencoreng Demonstrasi
Aksi unjuk rasa di Jakarta dinodai oleh terbakarnya halte busway bunderan HI.

MONDAYREVIEW.COM – Demonstrasi dan kerusuhan seakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kerusuhan selalu diiringi dengan tindakan vandalisme, yakni merusak fasilitas umum. Dari mulai yang ringan seperti mencoret tembok, sampai yang berat seperti membakar fasilitas umum. Pemandangan ini bisa kita lihat dalam berita beberapa hari ini, dimana aksi unjuk rasa di Jakarta dinodai oleh terbakarnya halte busway bunderan HI. Di Yogyakarta sebuah restoran menjadi sasaran vandalisme yang harus berakhir dengan terbakar.
Aksi vandalisme ini bisa dilakukan oleh siapapun, apakah itu demonstran ataupun penyusup yang mengatasnamakan demonstran. Namun siapapun pelakunya, tentu saja aksi vandalisme tidak dapat dibenarkan secara etika. Logikanya adalah fasilitas umum dibangun pemerintah dari uang pajak rakyat. Merusak fasilitas umum artinya merusak milik rakyat. Hal ini tidak dipedulikan oleh para pelaku aksi vandalisme tersebut. Bagi para pelaku vandalisme, kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan fasilitas umum dianggap bukan sebuah masalah.
Malah yang ada sebagian kelompok aktivis membuat pembenaran-pembenaran terhadap aksi vandalisme. Misalnya, seorang aktivis mengatakan bahwa pembakaran halte busway tidak seberapa dibanding dengan pembakaran hutan untuk membuka kebun kelapa sawit oleh para oligarki. Argumen ini sekilas benar, walaupun bagi yang berpikir jernih, kesalahan yang lebih besar tidak bisa dijadikan pembenaran bagi kesalahan yang lebih kecil. Baik membakar hutan maupun membakar fasilitas umum dua-duanya merupakan hal yang salah.
Pembenaran lainnya adalah bahwa aksi vandalisme dilakukan karena aksi-aksi damai sudah tidak didengar pemerintah. Lagi-lagi argument ini terkesan benar. Namun kelemahan argument ini adalah seolah-olah tidak ada alternative lain selain vandalisme agar aspirasi kita didengar. Padahal banyak kampanye-kampanye kreatif yang bisa dilakukan jika demonstrasi secara konvensional tidak didengar. Namun dalam persoalan ini, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya demonstran, namun kita juga perlu kritis kepada pemerintah agar lebih bisa mendengar aspirasi rakyatnya.
Faktanya seringkali pemerintah pun abai akan aksi-aksi damai, misalnya Aksi Kamisan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Aksi kamisan secara jumlah massa tidak banyak, hanya puluhan orang. Aksi mereka pun berupa berdiri, teatrikal puisi, music dll. Isu yang mereka angkat adalah HAM, lingkungan, advokasi terhadap kaum tertindas. Aksi ini seperti namanya konsisten dilakukan setiap hari kamis. Sayangnya tidak ada respon dari pemerintah. Sikap pemerintah ini menjadi pembenaran bagi aksi vandalisme demonstran.
Oleh karena itu perlu ada edukasi dan penyadaran secara massif kepada para demonstran mengenai etika dalam berdemonstrasi. Kita bisa belajar dari ajaran Islam yang menetapkan etika-etika dalam berperang. Jika berperang saja dimana kekerasan mendapatkan pembenaran mempunyai etika, apalagi demonstrasi yang bukan peperangan namun penyampaian aspirasi. Selain itu pemerintah pun perlu lebih mendengarkan aspirasi para demonstran walaupun tidak harus menyetujui aspirasi demonstran.
Aksi-aksi yang dilakukan beberapa kepala daerah pada demonstrasi kali ini cukup bisa meredam kemarahan massa. Aksi tersebut yakni menemui demonstran dan menampung aspirasi demonstran. Penegakkan hukum perlu dilakukan dengan seadil-adilnya. Jika diketahui siapa pelaku vandalisme, maka orang tersebut harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun aparat hendaknya menahan diri dari aksi-aksi emosional seperti memukuli para demonstran karena emosi.