Unjuk Rasa, Anarkisme dan Aparat Represif

Ada dua masalah yang menghinggapi kegiatan unjuk rasa, pertama adalah anarkisme pengunjuk rasa dan kedua adalah represifitas aparat keamanan.

Unjuk Rasa, Anarkisme dan Aparat Represif
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Unjuk rasa atau yang sering disebut dengan demonstrasi adalah hal yang lumrah di negara yang memilih demokrasi sebagai sistemnya. Adanya unjuk rasa berarti demokrasi sedang berjalan dengan baik, karena pemerintah mengizinkan rakyatnya untuk menyampaikan pendapatnya. Tidak adanya unjuk rasa artinya tidak ada demokrasi. Unjuk rasa dijamin pelaksanaannya oleh hukum. Kelompok yang akan melakukan unjuk rasa cukup mengirimkan surat pemberitahuan kepada polisi, bukan surat perizinan. Setelah itu setiap kelompok bebas untuk melakukan unjuk rasa dengan aparat keamanan yang akan mengamankan jalannya unjuk rasa.

Sayangnya teori tidak seindah praktik, ada dua masalah yang menghinggapi kegiatan unjuk rasa, pertama adalah anarkisme pengunjuk rasa dan kedua adalah represifitas aparat keamanan. Dua hal ini menjadi ganjalan yang membuat aksi unjuk rasa menyimpang dari esensi sesungguhnya. Mari kita uraikan satu per satu masalah ini untuk merumuskan solusinya. Pertama adalah anarkisme pengunjuk rasa. Pada masa reformasi ini, siapapun bisa berunjuk rasa, dari profesi, kelompok, golongan manapun. Misalnya buruh berunjuk rasa. Guru honorer berunjuk rasa. Petani berunjuk rasa. Belum ada berita kericuhan saat unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Namun lain halnya dengan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa. Pada masa orde lama dan orde baru, hanya mahasiswa yang berani melakukan unjuk rasa, elemen elemen lain tidak berani berunjuk rasa karena pemerintah yang otoriter. Unjuk rasa kemudian menjadi ciri khas mahasiswa selain kuliah. Soekarno turun disebabkan unjuk rasa mahasiswa. Soeharto turun pun diiringi dengan unjuk rasa mahasiswa yang menimbulkan korban di kalangan mahasiswa. Namun sayangnya aksi-aksi mahasiswa sering diwarnai aksi yang tidak diperlukan, misalnya dorong-dorongan dengan polisi, bakar ban dll.

Mahasiswa masih mempunyai militansi dan semangat yang sangat tinggi. Sikap nekad ala anak muda juga dimiliki mahasiswa. Hal ini membuat kadang mereka nekad adu jotos dengan polisi. Bahkan jika kita ingat aksi reformasi dikorupsi , anak SMK bisa sangat berani melempar batu kepada aparat. Itulah anak muda yang sedang masa-masa puber dan pencarian jati diri. Namun kadang anarkisme bukan semata disebabkan oleh mahasiswa. Sebagian anarkisme disebabkan oleh intel aparat yang menyusup di tengah kerumunan aksi mahasiswa. Jika aksi intelijen itu benar, maka hal ini tidak dapat dibenarkan.

Menyikapi massa yang sulit dikendalikan, aparat kepolisian pun sering kalap, bahkan tak kalah anarkis. Kasus yang paling parah menimpa Randi dan Yusuf, mahasiswa Universitas Haluoleo yang harus meregang nyawa terkena timah panas kepolisian. Sampai hari ini kasus tersebut masih dalam proses pengadilan. Tapi tak hanya mahasiswa, polisi pernah juga menjadi korban. Hal ini terjadi di Cianjur saat demo mahasiswa, seorang polisi meninggal karena terbakar oleh minyak yang dilempar mahasiswa. Yang paling sering adalah mahasiswa menjadi korban pemukulan polisi, walau tak jarang polisi pun terluka kena lemparan batu pengunjuk rasa.

Biar bagaimanapun, siapapun pelakunya, aksi kekerasan tidak dapat dibenarkan dan harus diakhiri. Mahasiswa hendaknya bisa menyampaikan pendapat dengan aksi damai tanpa bumbu-bumbu heroisme yang tidak perlu. Toh jika ingin viral maupun diliput, tinggal mengundang media massa untuk meliput aksi. Polisi pun tidak boleh arogan dan harus tetap menjaga nilai humanitasnya. Biar bagaimanapun para pengunjuk rasa termasuk dari masyarakat yang harus diayomi. Para pengunjuk rasa adalah para penjaga demokrasi agar tidak terjatuh ke dalam otokrasi.