Teror Sejak dalam Pikiran
Tentu Anda tidak mau bukan menjadi 'teroris pikiran' yang senantiasa menghadirkan prasangka tak berdasar, mengoyak persatuan, dan menimbulkan labelling absolut bahwa pihak tertentu selalu salah.

MONDAYREVIEW.COM – Teror di Kampung Melayu terjadi pada Rabu (24/5) malam. Dua ledakan terjadi, yang pertama dari depan toilet Terminal Kampung Melayu, lalu ledakan kedua di depan Halte TransJakarta Kampung Melayu. 5 orang meninggal yakni tiga anggota kepolisian dan dua orang yang diduga pelaku bom bunuh diri. Sedangkan yang mengalami luka-luka yakni 11 orang yang terdiri dari pihak kepolisian dan pihak sipil.
Pihak Kepolisian menduga teror bom di Kampung Melayu ini terdapat kaitannya dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Pengembangan lebih lanjut masih dilakukan oleh pihak Kepolisian untuk mereka ulang kejadian dan mencari pelaku dan aktor intelektualnya. Meski begitu semenjak kejadian berlangsung, ragam pendapat dan analisa diungkap oleh publik. Kata kunci Kampung Melayu berdasarkan catatan Trends24.in menjadi topik terhangat Twitter dunia sejak pukul 22.00 hari Rabu atau kurang lebih satu jam setelah teror berlangsung. Warganet dengan demikian segera mengungkap keprihatinannya, ketakutannya, doa, harapannya, serta analisa terhadap kejadian tersebut.
Aksi-aksi teror sendiri memiliki muatan untuk menghadirkan rasa takut secara massal dan mengirimkan pesan tertentu. Maka sebagai warga negara yang baik sudah selayaknya untuk tidak memperkeruh situasi yang sedang rumit ini. Memperkeruhnya dengan menyertakan berita-berita dari sumber tidak berdasar. Memperkeruhnya dengan membuat analisa yang serta merta menyudutkan salah satu pihak, padahal pihak Kepolisian saja masih melakukan penyelidikan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyeru agar publik tetap tenang dan tidak menimbulkan ragam asumsi.
“Tetaplah tenang dan tidak terpancing serta mengembangkan asumsi yang dapat menimbulkan prasangka,” kata Haedar Nashir.
Tindakan teror bom memang dapat menimbulkan ragam analisa, ragam persepsi, ragam framing. Dalam hal ini diperlukan berpijak kepada data dan fakta yang ada. Bukan sekadar mengembangkan asumsi imajinatif yang melebar kemana-mana dan dapat mengoyak rasa persatuan bangsa ini.
Teror sejak dalam pikiran sesungguhnya memiliki daya eksplosif untuk merenggangkan antaranak bangsa ini. Dikarenakan prasangka, asumsi pun terbentuk bahwa kalangan tertentu inilah yang menjadi biang masalah setiap kekisruhan yang ada. Tentu Anda tidak mau bukan menjadi “teroris pikiran” yang senantiasa menghadirkan prasangka tak berdasar, mengoyak persatuan, dan menimbulkan labelling absolut bahwa pihak tertentu selalu salah.