Terjerat Isu Setan
Kontroversi partai setan tidak seharusnya memecahbelah bangsa. Kontestasi politik bukan sekedar untuk meraih kekuasaan

MONDAYEVIEW- Sejak kapan setan punya partai politik? Pertanyaan itu dilontarkan di media sosial, untuk mempertanyakan pernyataan Amien Rais, yang kontroversial ini, Tak hanya warganet yang ramai berkomentar, para elit politik pun masuk dalam polemik isu partai setan ini
Amien Rais yang juga Ketua Dewan Kehormatan PAN ini, tak hanya ramai dihujat, juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Cyber Indonesia karena dituduh menyebarkan ujaran kebencian dalam sebuah ceramah di sebuah masjid di Jakarta. Partai lain di luar Partai Gerindrra, PKS dan PAN, disebutnya sebagai partai setan. Benarkah?
"Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? Untuk melawan hizbusy-syaithan," begitu pernyataan Amien dalam ceramahnya.
Ketika ditanya sejumlah wartawan, Amien Rais tak menjawab partai mana yang dimaksud dengan partai setan. Namun, kegaduhan politik sudah terlanjur bergulir. Banyak elit politik yang kecewa dengan pernyataan Amien ini, bahkan ada yang meminta mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini, pensiun dari dunia politik, karena sering membuat kegaduhan politik.
Perseteruan para elit politik tentu mengkhawatirkan. Karena itu, Haedar Nashir Ketua Umum PP Muhammadiyah mengajak semua elit bangsa untuk menjaga situasi politik nasional. “sebaiknya politik direspons dengan politik, tidak perlu selalu dengan hukum meskipun sah secara hukum. Ini berlaku untuk siapa saja sejauh itu area politik. Sebaiknya jangan selalu dihimpitkan isu politik dan hukum, nanti semakin panas situasinya,” jelas Haedar.
Selain itu, para elit bangsa siapapun dan dari kalangan manapun diharapkan memberikan keteladanan kepada warga untuk merawat kehidupan kebangsaan. Berpolitik dengan positif dan saling toleran dalam keberagaman orientasi dan pilihan politik, sehingga bangsa ini tidak retak dan terbelah. “Mahal sekali harganya keutuhan bangsa ini, jangan dikorbankan oleh sengketa politik yang berpotensi menimbulkan konflik di negeri tercinta ini, “ tegas Haedar.
Istilah Partai Setan dan Partai Alloh, disebutkan dalam surat Al-Mujadilah ayat 19-22. Namun, hizb, bukanlah partai politik yang kita kenal saat ini. Yang dimaksud hizb adalah golongan manusia yang dibagi dua, yaitu golongan setan (hizb as-syaithan) dan golongan Allah (hizb Allah).
Golongan setan itu disebutkan sebagai golongan orang yang selalu berdusta, lupa mengingat Allah, dan suka menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya. Orang yang masuk dalam kategori itu disebut golongan orang yang merugi.
Sementara, golongan Allah itu disebut sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, yaitu orang-orang yang menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Allah. Orang yang masuk dalam kategori itu disebut golongan orang yang beruntung.
Partai atau golongan setan yang disebutkan Alquran, lebih menunjuk pada perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai kebenaran. Orangnya bisa siapa saja, dan partainya bisa apa saja. Apalagi, saat ini kita tak bisa lagi membedakan partai politik secara ideologis.
Meskipun menamakan dirinya sebagai partai islam, tak menyempitkan ruang geraknya untuk massa muslim, bahkan lebih muncul sebagai partai terbuka. Bahkan, menuver politiknya bersifat pragmatis. PPP sebagai partai Islam misalnya, memilih berkoalisi dengan PDIP dan Golkar. Begitu pula PKS berkoalisi dengan Gerindra.
Partai atas nama agama, terbukti tidak banyak peminatnya di Indonesia. Apalagi, identitas dan afiliasi keagamaan bisa menjadi beban sekaligus jadi senjata makan tuan ketika elit politik partai terbukti melakukan korupsi atau tindakan yang menyimpang dari ajaran agamanya. Citra agama menjadi rusak, dan masyarakat akan lebih menghujat bahkan menuduhnya telah menjual agama untuk kepentingan politik semata.
Karena itu, masyarakat muslim Indonesia yang sangat plural, sulit bisa diakomodasi hanya dalam satu wadah penyaluran aspirasi umat. Warga Muhammadiyah dan warga NU tentu berbeda saluran aspirasi politiknya, tidak bisa diseragamkan. Lalu, apakah kita patut mempertanyakan keislaman mereka karena memilih partai nasionalis, misalnya?
Terpuruknya partai yang berbasis Islam pada Pemilu 2014, tentu harus menjadi pelajaran. Apakah ini bukti keberhasilan sekularisasi politik di Indonesia?
Kesuksesan partai AKP di Turki cukup menarik dikaji. AKP secara formal adalah partai sekuler, tidak menonjolkan simbol-simbol agama, tetapi masyarakat dan politisi Turki paham betul bahwa AKP sangat agamis, baik tokohnya maupun program-programnya. Islam lebih ditonjolkan pada nilai-nilai substansi dan fungsinya untuk melayani masyarakat dan memajukan bangsa, yang hasil dan prestasinya sangat nyata sehingga mengalahkan parpol sekuler yang anti-agama.
Untuk merangkul massa pemilih, boleh-boleh saja menamakan diri sebagai partai islam. Namun, belajar dari kegagalan, partai saat ini berusaha keluar dari kesempitan ideologis, dan lebih berorientasi pragmatis untuk meraih kekuasaan.
Namun, menurut Haedar Nashir, kontestasi politik juga diharapkan tidak semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan, tetapi tidak kalah pentingnya meniscayakan komitmen dan usaha yang sungguh-sungguh dalam mewujudkan idealisme, nilai dasar, dan cita-cita nasional yang luhur sebagaimana telah diletakkan oleh para pendiri bangsa.
Karena itulah, partai yang memiliki idealisme, keteladanan, dan menunjukan komitmennya untuk memajukan bangsa dan mengsejahterakan rakyat, sudah selaiknya mendapat dukungan penuh dari rakyat.