Teologi Pembebasan Muhammadiyah

Teologi Pembebasan Muhammadiyah
107 tahun Muhammadiyah (Fhoto: suaramuhammadiyah.id)
Semoga Berkah Rahmat Illahi Melimpahi Perjuangan Kita.
 
 
Kajian mingguan yang rutin di lakukan di aula fascho, di setiap awal minggu dan pada kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang pembebasan yang telah dilakukan Muhammadiyah. Kajian ini di isi oleh salah satu pengajar UIN Jakarta yang menamatkan studi S3 bidang Filsafat Agama/Antripologi/Budaya di Belgorad State University, Rusia. Kajian ini dimulai dengan pertanyaan yang di ajukan oleh salah satu mahasiswa, ia menanyakan tentang “ketertinggalan pendidikan di Indonesia oleh Barat.”
 
Merespon pertanyaan tersebut beliau menjawab dengan lantang. Pejelasan dari beliau yaitu ada tiga unsur penilaian dalam sistem pendidikan di Indonesia yakni kognitif (pengetahuan), promotorik (mental) dan afektif (sikap) dengan presentase tertinggi ada pada kognitif. Beliau melanjutkan, ada yang salah dalam sistem pendidikan di Indonesia ini. Dimana kita (orang terpelajar) di ajarkan dengan sistem yang hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif sedangkan di Barat, sistem yang mereka terapkan adalah bagaimana manusia-manusianya bermental baja serta memiliki keterampilan yang memang disukai dan diminati. Sehingga kelak mereka memang benar-benar menjadi ahli dibidangnya masing-masing.
 
Setelah menjawab pertanyaan tersebut, beliau memberikan satu kesempatan lagi untuk bertanya. Dan pertanyaan terakhir tersebut terlontar dari mahasiswa yang memang berlatar belakang NU. Ia menanyakan “apa perbedaan Muhammadiyah dengan ormas lain selain dari segi ubudiah yang sudah sama-sama kita ketahui memang berbeda dalam masalah pemahaman.”
 
Menjawab pertanyaan itu beliau menceritakan pembebasan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah sebagi mediumnya. Pada zaman kolonial dulu, betapa banyak rakyat boemipoetra (Indonesia) yang kelaparan, tertindas, dan menjadi budak kaum kafir. Untuk mengentaskan hal itu KH. Ahmad Dahlan berusaha memikirkan bagaimana Al-Qur’an bukan hanya untuk di hafal tetapi juga untuk di amalkan. Singkatnya, dengan berlandaskan surat Al-Ma’un atau juga biasa di sebut dengan Teologi Al-Ma’un, KH. Dahlan mengorbankan hartany untuk memberi makan orang miskin. Salah satu pemikiran yang dianggap paling berkemajuan saat itu ialah dengan mendirikan sekolah, dimana hal tersebut merupakan cara yang efektif dalam memberantas ketertindasan, perbudakan, kelaparan dan kemiskinan.