Jurus Kemendag Melicinkan Harga Minyak Goreng

Jurus Kemendag Melicinkan Harga Minyak Goreng
Oke Nurwan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri saat berdiskusi di acara Kopi Pahit Monday Media Grup

MONITORDAY.COM -Presiden Joko Widodo naik pitam. Dalam sidang kabinet yang digelar akhir tahun 2021 itu, di hadapan para menterinya, Presiden secara lugas menyoroti langkanya ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat.

Kemarahan Presiden beralasan, sebab Indonesia adalah penghasil sawit terbesar dunia. Kok, bisa-bisanya minyak goreng raib di pasaran?

Tongkat perintah kemudian ditujukan ke Kementerian Perdagangan, instruksinya jelas: "Sediakan minyak goreng dengan harga terjangkau bagi rakyat!"

Pangkal persoalan dari naiknya harga yang berimbas pada kelangkaan minyak goreng adalah harga bahan baku Crude Palm Oil (CPO) di pasar internasional yang melesat sejak Mei tahun lalu. Seperti buah simalakama, di satu sisi, hal itu membawa berkah berkah bagi perekonomian nasional. Namun tidak untuk minyak goreng.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan dalam acara diskusi Kopi Pahit yang diselenggarakan Monday Media Grup, menyatakan langkah cepat telah diambil Kementerian Perdagangan dengan menerbitkan serangkaian kebijakan. 

Sebelumnya, telah terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan. Isi dari peraturan itu tak lain merupakan siasat pemerintah mencukupi ketersediaan stok minyak goreng agar tidak terjadi kelangkaan.

Namun produk kebijakan itu dinilai tidak sustain, sebab harga minyak goreng kemasan masih bergantung dengan 'subsidi' yang dikeluarkan dari kantong Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Minyak goreng masih gaib keberadaannya.

Dirasa kurang manjur, Oke mengatakan Kementerian Perdagangan kemudian mengeluarkan kebijakan terbaru, supaya menurunkan grafik yaitu membuat harga bahan baku CPO ditekan mengikuti harga domestik. Jurus baru itu adalah Permendag 06 Tahun 2022 diikuti Permendag 08/2022.

Isi beleid tersebut antara lain, Pemerintah mewajibkan eksportir CPO dan produk olahannya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik atau domestic market obligation (DMO). Kuota DMO ditetapkan 20% dari volume ekspor, serta mengikuti ketentuan domestic price obligation (DPO).

Analisa Oke, sejak pertengahan tahun lalu harga CPO internasional menanjak drastis telah lepas dari angka psikologis US$1.000 per ton, yang disebabkan oleh beberapa faktor, harga bahan baku yang tersedia di dalam negeri pun jadi mahal sebab para pelaku usaha lebih melirik pasar ekspor.

Permendag 06 tersebut secara teoritis akan menyediakan bahan baku yang banyak dan murah untuk produsen minyak goreng dalam negeri. Sebelum kebijakan ini diterbitkan, harga CPO menyentuh Rp15.000, normalnya Rp9.300 per ton, sehingga harga eceran pun otomatis ikut terkerek.

Satu persoalan sudah teratasi, lalu timbul lagi persoalan lain di tingkatan hilir yang disebabkan oleh para spekulan di rantai pasok (supply chain). "Belum sampai konsumen, harga grosir sudah sampai Rp14.000," kernyit Oke.

Kerumitan itu sebetulnya sudah coba diurai, guna mengendalikan harga minyak goreng, kata Oke, sejak 2014 lalu Kemendag sudah bersiasat supaya minyak goreng bisa lepas dari harga minyak curah. Minyak curah dinilai sangat elastis terhadap harga CPO internasional.

Seiring berjalannya waktu, kebijakan menyetop produksi minyak goreng curah nyatanya kontraproduktif karena peredarannya mencapai 70% di pasaran. 

"Manakala dikeluarkan delivery order dalam kurun 14 hari, transaksi sudah berjalan. Padahal barangnya masih di tangki!" kata Oke.

Kendati kualitas minyak curah sangat rendah, dari aspek bisnis cuannya lebih tinggi. Curah juga rentan diedarkan tidak sesuai standar. Misalnya, dioplos dengan minyak jelantah yang dibersihkan kembali, lalu diedarkan sebagai minyak goreng curah. 

Menceraikan Harga Minyak Goreng dari CPO Internasional

Dalam diskusi Kopi Pahit yang berlangsung selama dua jam tersebut Oke bersama jajaran kementerian perdagangan berkomitmen untuk memonitor ketat perkembangan harga minyak goreng dan mengambil langkah-langkah strategis bila diperlukan, sesuai arahan Presiden Jokowi.

Peningkatan harga CPO memang membawa berkah bagi Indonesia karena mendatangkan devisa bagi negara. Komoditas kelapa sawit juga kontributor kedua terbesar ekspor non migas setelah batubara. 

Oke menolak buang badan dengan memakai istilah 'kartel' untuk menyebut keladi dari raibnya kehadiran minyak goreng di masyarakat. Tugas pemerintah selaku regulator adalah memastikan persaingan dalam negeri yang sehat.

"Apapun yang dikatakan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) pasti kita jalankan. Pemerintah tidak pernah didrive pelaku usaha," aku Oke.

Dari pengamatannya, setidaknya ada beberapa indikator kenapa harga CPO Internasional naik tajam. Pertama, faktor pandemi yang menyebabkan produktivitas sawit di Malaysia turun hingga 15%, ini ditandai dengan banyaknya tenaga kerja yang bekerja di kebun sawit Malaysia dipulangkan ke Indonesia.

Sudah jadi rahasia umum kalau harga CPO dikendalikan oleh bursa Malaysia. Namun, Oke menjelaskan bahwa Indonesia secara unofficialy merupakan pengendali harga CPO internasional. Bukan bursa Malaysia maupun Rotterdam.

Sambil melirik tabel chart Malaysia Derivatives Exchange dan Cost, Insurance dan Freight (CIF) Rotterdam, Oke menunjukkan sebelum kebijakan DMO/DPO diterapkan, harga CPO berkisar di angka 5.500 ringgit per metrik ton. Kini harga berkisar di antara 6.600 ringgit atau US$1.500 per tonnya.

Selain itu, kenaikan harga CPO juga disebabkan penurunan produksi canola oil di Kanada, turun 6%. Krisis energi juga menyumbang kenaikan, itu membuat ongkos logistik juga ikut naik, transhipment dan kargo lebih mengutamakan wilayah atau negara yang lebih ramai. 

Nah, ini yang cukup besar; Mandatori Biodisel, mengkonversi kebutuhan minyak nabati untuk energi. Pelaku usaha di Indonesia sebelum harga internasional naik lebih mengutamakan pasar domestik, karena lebih menarik. Sejak harga CPO perlahan menanjak, yang diutamakan jadi keperluan ekspor.

Sebelumnya, sebanyak 35% - 45% digunakan untuk keperluan dalam negeri sebab jika diekspor ada kebijakan bea keluar, pungutan eskpor sehingga pelaku usaha mendahulukan pasar dalam negeri. Yang terjadi sekarang kebalikannya.

Meski ada bea keluar dan pungutan eskpor yang masuk ke kantong negara, itu jadi kurang bermakna ketika harga CPO lepas dari angka psikologis yaitu berkisar antara US$1.200-1.300 per ton, yang membuat harga minyak goreng jadi lepas kendali.

"Pada saat ini yang kami monitor harga CPO internasional, biodiesel menjadi menarik karena ada insentif tertentu demi karbon trading. Akan tetapi, harga dalam negeri bagus kalau tidak lepas dari harga psikologis," papar Oke.

Harapannya, dengan kebijakan DMO/DPO, mau CPO naik setinggi apapun, harga minyak goreng akan tetap stabil. Total, kebutuhan minyak goreng nasional di luar industri sebanyak 327 juta liter per bulan. Konsumsi minyak goreng nasional terdiri dari 30% kemasan, 40% curah diedarkan ke masyarakat, 30% untuk industri besar. 

Jika di hulu masalahnya selesai, tinggal membenahi masalah yang ada di hilir. Oke mengaku tengah sibuk membereskan jaringan distribusi. Ketika minyak goreng sudah tersedia, rantai distribusi di general trading malah macet. Kebutuhan 11 jt liter per hari dipasok 20 jt liter, tapi belum juga mengalir. Artinya di bendungan penuh, tapi irigasinya macet.

Di retail modern, relatif mudah dikendalikan, hanya saja kapasitasnya belum memadai, per hari modern trade mampu menyediakan 20 sampai 25 juta liter. Tapi itu hanya 30% dari rantai pasok, dan hampir seluruhnya minyak goreng kemasan. 

Kiatnya, bersama Kementerian BUMN, Oke memotong rantai distribusi dengan menjual minyak goreng langsung ke pasar rakyat. Meski belum maksimal hal ini ternyata diapresiasi Presiden Jokowi. "Yang penting antriannya jangan nguler, lah," ujar Oke.

Paling tidak hal itu dapat mengurangi tekanan di ritel modern, sedikit bergurau Oke mengatakan minyak goreng yang sejatinya bukan produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) sekarang jadi masuk kategori Very Fast Moving Consumer Goods.