Tentang Literasi di Tanah Papua
OLSN dioptimalkan dan dimanfaatkan. Dalam arti bukan sekadar unjuk kebolehan, tapi gimana caranya kita menjalin relasi, mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang hal-hal yang terkait dengan literasi

MONDAYREVIEW.COM - Kemendikbud mengakui mengalami kesulitan untuk menghadirkan menghadirkan buku berkualitas di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T).
"Selain buku cerita berkualitas, belinya susah," kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad usai pembukaan Festival Gerakan Literasi di Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Jumat (27/10).
Berbicara soal literasi, tak sekadar pada minat, melainkan juga pada akses. Bentangan jarak Indonesia serta biaya transportasi menjadi problematika tersendiri. Hal itu diantaranya diungkapkan oleh guru pendamping dari provinsi Papua di ajang OLSN SMP 2017, A.A.A.A.Whisnubrata. Ia mengaku biaya pengiriman buku per kilogramnya dapat memakan biaya hingga Rp 100.000.
Oleh karena itu Whisnubrata berupaya mengoptimalkan kegiatan OLSN sebagai cara menjalin relasi dan informasi terkait literasi.
“OLSN dioptimalkan dan dimanfaatkan. Dalam arti bukan sekadar unjuk kebolehan, tapi gimana caranya kita menjalin relasi, mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang hal-hal yang terkait dengan literasi,” kata Whisnubrata yang merupakan guru SMP Santo Antonius di Nabire, Papua.
“Karena disini diikuti banyak guru. Kami banyak saling bertukar informasi tentang gerakan literasi di sekolah masing-masing. Itu kami manfaatkan. Semoga ke depan kalau ada hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan literasi lewat media grup yang dibentuk,” imbuh Whisnubrata seperti dilansir situs ditspmp.
Whisnubrata sendiri memandang sesungguhnya minat terhadap literasi telah membuncah di peserta didik di ranah Papua. Ia memberi bukti dengan perpustakaan SMP Santo Antonius di Nabire, Papua yang kerap dikunjungi siswa.
“Kegiatan membaca di sekolah kami sudah dijadikan habit daily activity. Yang boleh saya gambarkan perpustakaan kami tidak pernah kosong. Waktu jam-jam istirahat dimana mereka harusnya jajan di kantin, namun perpustakaan tidak pernah kosong,” kata Whisnubrata di Hotel Grand Sahid Jaya, Sabtu (28/10).
Meski minat membaca telah muncul, Whisnubrata berharap pasokan buku yang ada di ranah Papua dapat beragam dan sesuai dengan segmentasi umur peserta didik.
“Sejauh ini pasokan buku hanya konvensional saja dari Dinas Pendidikan terkait. Pasokan yang ada pun sesuai dengan kurikulum yang ada. Jadi hal-hal yang sifatnya pengetahuan umum, ensiklopedia, thesaurus masih sangat kurang. Kalau saya boleh menilai anak seusia SMP memang tidak bisa saya katakan total tertarik pada buku apalagi yang berbau kurikulum. Butuhnya informasi-informasi lain yang lebih ringan,” ungkap Whisnubrata.