Rektor IPB Sebut 3 Bekal Kebangkitan Nasional Baru Menuju "The New Normal"
Semua negara di dunia merasakan masalah pandemic Covid-19 dan semua hendak menuju “the new normal”. Ada tiga bekal pokok yang mesti dibawa dalam jangka pendek, yaitu modal sosial, spirit kemandirian, dan inovasi.

MONDAYREVIEW.COM - Konteks kebangkitan nasional 1908 adalah perjuangan sosial politik, karena tantangannya adalah kemerdekaan. Namun saat ini dalam jangka pendek konteks masalahnya adalah bagaimana bisa “merdeka” dari pandemic Covid-19 dan lalu memasuki tatanan kehidupan baru yang disebut “the new normal”.
"Apa bekal kita untuk memasuki “the new normal” dan melakukan lompatan pasca “the new normal” sehingga bisa menjadi bangsa yang diperhitungkan dunia," tutur Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Arif Satria, SP, MSi kepada mondayreview.com, rabu (20/5/2020)
Dikatakan Arif, semua negara di dunia merasakan masalah pandemic covid-19 dan semua hendak menuju “the new normal”. Ada tiga bekal pokok yang mesti dibawa dalam jangka pendek, yaitu modal sosial, spirit kemandirian, dan inovasi.
Pertama, Modal Sosial
Yang diperlukan untuk mengendalikan laju pandemi covid-19 adalah ikatan kebersamaan. Ikatan kebersamaan bisa tercipta karena adanya rasa saling percaya (trust), menguatnya jejaring dan norma kolektif. Inilah yang disebut modal sosial. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang baik dan mudah memberi, sehingga kebersamaan mudah tercipta.
Namun saat ini Indonesia dihadapkan pada tantangan membangun kebersamaan, yaitu kebersamaan pemerintah pusat dan daerah, kebersamaan sesama menteri, kebersamaan antar partai politik, kebersamaan antar kampus, dan kebersamaan antar warga. Ikhtiar untuk membangun konvergensi cara berpikir dan bertindak perlu terus dilakukan.
Memang konteks dulu 1908 modal sosial kuat karena diikat oleh kesadaran bersama akan nasib penjajahan, lalu tumbuh nasionalisme. Dulu sekat-sekat etnisitas pun pudar karena kebersamaan yang amat tinggi sehingga Sumpah Pemuda lahir 1928. Semua fokus pada satu titik, yaitu perjuangan kemerdekaan.
"Apakah saat ini kita sudah punya fokus pada satu titik? Apakah Covid-19 sudah menjadi satu titik itu? lantas apa yang harus kita siapkan," ungkapnya.
Kedua, Spirit Kemandirian
Lebih lanjut, Arif menjelaskan pandemi Covid-19 mengajarkan betapa perlunya kemandirian. Ketergantungan produk impor obat, alat kesehatan, dan pangan seolah tidak terputus.
"Namun kini kita merasakan betapa semua negara membutuhkan produk-produk tersebut untuk mengatasi problem negaranya sendiri," jelasnya.
Ia menilai ketidakpastian membangun kemandirian industri kesehatan dan pangan dapat berujung pada krisis baru. Salah satu prasyarat untuk mewujudkan kemandirian adalah kepercayaan diri. Optimisme harus selalu ditebar sekaligus memupus rasa inferior. Memang mental inferior akibat penjajahan yang begitu lama masih saja melekat pada Bangsa ini.
"Anekdot yang menertawai bangsa sendiri masih sering kita temui. Ini adalah pertanda kita mengalami krisis kepercayaan diri," singgungnya.
Tahun 1990an BJ Habibie sudah memulai dengan semangat kemandirian teknologi, salah satunya dengan industri dirgantara. Sebenarnya yang hendak dibangun oleh Bapak Tekhnologi ini adalah meningkatnya rasa percaya diri sebagai bangsa Indonesia.
Arif kemudian mengambil contoh dari salah satu strategi Saemaul Undong Korea Selatan 1960-1970 adalah bagaimana membangun rasa percaya diri masyarakat desa. Kepercayaan diri adalah modal untuk membangun. Kini Korea Selatan menjadi bukti advanced country karena kepercayaan diri masyarakatnya.
Ketiga, Inovasi Kaum Pembelajar
Oleh karena itu, kaum pembelajar kini dituntut untuk menjadi inisiator kebangkitan baru dengan cara baru, yaitu kebangkitan inovasi. Kemandirian bangsa hanya bisa dicapai dengan kemandirian inovasi anak bangsa.
Covid-19 memberi pelajaran bahwa ruang inovasi semakin lebar dan semua negara sedang berjibaku menghasilkan inovasi unggul.
Ada dua fokus inovasi saat ini, yaitu inovasi untuk menuju “the new normal” dan inovasi untuk mengisi “the new normal”. Apalagi revolusi industri 4.0 telah membuka peluang berinovasi dengan teknologi 4.0 yang lebih murah dan cepat.
Indonesia, nilai Arif, tidak perlu meratapi kondisi inovasi yang masih jauh dari negara-negara lain. Memang dalam Indeks Inovasi Global 2019, Indonesia berada di peringkat 85 dari 129 negara. Bahkan di ASEAN Indonesia berada di urutan ke 7 atau dua terendah. Lihat Singapura (8), Malaysia (35), Thailand (43), Vietnam (42), Filipina (54) dan Brunei (71).
Kaum inferior yang pesimis akan merespons dengan terus mencemooh situasi “kekalahan” inovasi saat ini. Namun kaum optimis yang percaya diri akan merespons dengan semangat baru mencari terobosan kebangkitan inovasi.
Apa bekal untuk kebangkitan inovasi?
Bekal utamanya adalah manusia unggul. Singapura yang tidak memiliki sumberdaya alam bisa menempati urutan 8 dunia dalam indeks inovasi global, karena bertumpu pada kekuatan manusia unggulnya. Karena itu tidak ada jalan lain selain melakukan percepatan transformasi pendidikan nasional.
Pendidikan tinggi adalah media hilir untuk menghasilkan inovasi. Namun manusia unggul di hilir adalah akumulasi dari proses panjang sejak di hulu, yaitu sekolah dasar dan menengah.
Gagasan Merdeka Belajar
Gagasan Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan bentuk kesadaran akan pentingnya ekosistem untuk menghasilkan manusia kreatif dan unggul, yakni manusia inovatif yang bisa menjadi penentu arah perubahan. Apalagi Menristek juga terus mendorong inovasi nasional.
Dengan inovasi, manusia unggul dan sumberdaya alam yang melimpah mestinya membuat kita jauh lebih unggul dari bangsa lain.
Jadi bekal modal sosial, spirit kemandirian, dan inovasi itulah yang harus diperkuat untuk memasuki kebangkitan nasional baru.
"Optimisme harus terus kita gaungkan sejalan dengan karya nyata. Sesungguhnya karya nyata itulah inspirasi untuk kebangkitan," pungkasnya.