Tantangan Dekarbonisasi Bagi Indonesia

Energi menjadi kebutuhan utama manusia baik untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Sumber energi fosil semakin terbatas dan penggunaannya berdampak buruk pada lingkungan. Emisi karbon mengakibatkan pemanasan global. Suhu bumi yang semakin naik dari tahun ke tahun telah mengakibatkan bencana di berbagai belahan bumi.  Maka upaya untuk menekan penggunaan energi fosil menjadi niscaya. Termasuk bagi Indonesia. Walaupun Indonesia akan menjadi produsen kendaraan listrik hal tersebut tak akan cukup berarti bila PLN masih menggunakan pembangkit berbahan bakar fosil. Untuk itulah PLN mendorong penggunaan energi rendah karbon yang ramah lingkungan, khususnya dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) dalam penyediaan energi listrik.

Tantangan Dekarbonisasi Bagi Indonesia
ilustrasi PLTB/ net

MONDAYREVIEW.COM – Energi menjadi kebutuhan utama manusia baik untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Sumber energi fosil semakin terbatas dan penggunaannya berdampak buruk pada lingkungan. Emisi karbon mengakibatkan pemanasan global. Suhu bumi yang semakin naik dari tahun ke tahun telah mengakibatkan bencana di berbagai belahan bumi. 

Maka upaya untuk menekan penggunaan energi fosil menjadi niscaya. Termasuk bagi Indonesia. Walaupun Indonesia akan menjadi produsen kendaraan listrik hal tersebut tak akan cukup berarti bila PLN masih menggunakan pembangkit berbahan bakar fosil. Untuk itulah PLN mendorong penggunaan energi rendah karbon yang ramah lingkungan, khususnya dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) dalam penyediaan energi listrik.

Melalui salah satu aspirasi utama dalam transformasi PLN yaitu green, perseroan memiliki beberapa strategi untuk mendorong penggunaan energi baru terbarukan, yaitu dengan co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang telah beroperasi, program konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Biomassa, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung dengan memanfaatkan bendungan-bendungan yang sudah ada untuk membangkitkan listrik.

Demikian menurut Direktur Utama PT PLN, Zulkifli Zaini dalam informasi tertulis yang diterima di Jakarta, MInggu.

Selain itu, co-firing juga dikembangkan oleh PLN di beberapa PLTU, seperti PLTU Paiton berkapasitas 2×400 MW menggunakan olahan serbuk kayu, PLTU Ketapang berkapasitas 2×10 MW dan PLTU Tembilahan berkapasitas 2×7 MW menggunakan olahan cangkang sawit.

Co-firing dilakukan dengan mencampurkan olahan tersebut sebesar 5 persen dari total kebutuhan bahan bakar. Sementara untuk konversi dari PLTD ke PLT Biomassa, PLN mencatat terdapat 1,3 Gigawatt PLTD yang dapat dikonversi menjadi PLT Biomassa.

PLN juga mendorong pembangunan PLTS Terapung berkapasitas besar dengan memanfaatkan bendungan-bendungan yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, pada Januari 2020, PLN telah menandatangani kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dengan Konsorsium PT PJBI-Masdar untuk membangun PLTS Terapung di Cirata, Jawa Barat dengan total kapasitas mencapai 145 MW. Pembangunan PLTS ini akan dimulai pada awal 2021 dan akan menjadi PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara.

PLN  berhasil mendapatkan tarif EBT yang murah yaitu sebesar 5,8 sen dolar AS/kWh. Ke depan PLN akan mendorong pembangkit seperti ini dan pastinya dengan harga yang lebih murah.

Saat ini, PLN juga tengah mengembangkan Renewable Certificate Energy (REC). REC akan ditawarkan kepada pelanggan yang memiliki komitmen penggunaan EBT dimana setiap penggunaan 1 MWH EBT akan mendapatkan 1 unit REC.

Selain penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, PLN juga menyiapkan infrastruktur untuk mendukung kehadiran kendaraan listrik. PLN telah melakukan inovasi menghadirkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listirik Umum (SPKLU). Pengembangan Energi Baru Terbarukan dilakukan sebagai tanggung jawab PLN untuk generasi mendatang. Power Beyond Generations.

Dr. Ucok Siagian dari Pusat Kebijakan Keenergian ITB menyampaikan perlunya “decoupling” (doing more with less energy) yang mempertimbangkan pertumbuhan energi dan pertumbuhan konsumsi. Untuk itu dapat ditentukan subsektor mana yang akan diintervensi. Hal itu disampaikan dalam FGD Penerapan Teknologi Rendah Karbon yang dilaksanakan Kemeterian ESDM tahun 2015.

Perlu studi dekarbonisasi mendalam (deep decarbonnization). Studi ini dibutuhkan untuk dapat melakukan transisi ke ekonomi-rendah karbon dan mencapai target yang telah disepakati yaitu membatasi peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi global kurang dari 2°C. Hal ini akan membutuhkan transformasi sistem energi hingga pertengahan abad ini melalui penurunan tajam intensitas karbon di semua sektor ekonomi, suatu transisi yang disebut “deep decarbonization” (dekarbonisasi mendalam).

Disampaikan mengenai trend emisi di Indonesia dan decarbonization pathway. Ada tiga pilar dekarbonisasi, yaitu: 1) efisiensi energi; 2) dekarbonisasi di sektor kelistrikan (listrik dihasilkan dari sumber yang rendah emisi) dan 3) Elektrifikasi pada end-uses (dipaksakan untuk penggunaan listrik pada semua kegiatan, dengan listrik tersebut juga dihasilkan dari sumber yang rendah emisi).

Diuraikan mengenai dekarbonisasi per sektor: pembangkit listrik, bahan bakar cair (transport, industri dan listrik), sektor industri, komersial dan residensial. Untuk mencapai kondisi tersebut, masih terdapat sejumlah tantangan, yaitu industrialisasi industri terbarukan. Juga diperlukan SDM untuk science dan engineering.

Adapun implikasi dari kebijakan dekarbonisasi akan besar, antara lain berkaitan dengan siapa yang akan membiayai perubahan ke arah dekarbonisasi tersebut, dampak dan peluang ekonomi, kompensasi dari tidak berproduksinya sumber energi fosil, perlu negosiasi di forum perubahan iklim terkait pembiayaan dan sebagainya.

Pendek kata dunia sudah semakin tua. Perubahan iklim dan pemanasan global harus segera diatasi. Dalam tingkat individu manusia harus semakin hemat dan cermat.