Strategi Hulu Hingga Hilir Transisi Endemi

MONITORDAY.COM - Riset berjudul Discontinuous Epidemic Transition due to Limited Testing oleh Davide Scarselli dan koleganya menegaskan bahwa epidemi dengan dampaknya yang tinggi merupakan salah satu ancaman terbesar yang dihadapi umat manusia di abad ke-21. Dengan tidak adanya intervensi farmasi, jaga jarak fisik, testing, pelacakan kontak, dan karantina sangat penting dalam memperlambat dinamika epidemi.
Jika kapasitas testing terbatas, upaya menahan laju pandemi mungkin gagal secara dramatis karena tindakan pencegahan terpadu tersebut secara drastis mengubah aturan transisi epidemi. Sejarah mencatat dunia sangat tidak siap menghadapi pandemi.
Alih-alih berkelanjutan, respons terhadap tindakan pencegahan menjadi terputus-putus. Jangankan mengikuti pertumbuhan eksponensial konvensional, wabah yang awalnya ditekan dengan kuat akhirnya berakselerasi dan meningkat lebih cepat secara eksponensial selama periode pertumbuhan eksplosif.
Kini dunia termasuk Indonesia sedang bersiap menghadapi transisi dari pandemi menuju endemi. Endemi adalah kondisi penyebaran virus terbatas pada daerah tertentu dalam jumlah dan frekuensi yang rendah, sehingga mereka yang tertular akan mendapatkan penanganan yang maksimal. Hanya saja meski statusnya berubah menjadi endemi, tidak berarti penyakitnya akan hilang.
Pemerintah menegaskan sejumlah strategi yang disiapkan dalam tahap transisi ini. Dari paparan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dapat dielaborasi beberapa poin penting terkait langkah-langkah yang disiapkan. Memasuki masa transisi dari pandemi menjadi endemi Pemerintah mengambil kebijakan dan langkah dimulai dari sisi hulu yaitu
#1 mengintensifkan vaksinasi,
#2 mendisiplinkan Gerakan 3M,
#3 mengakselerasikan testing dan tracing,
#4 mengintensifkan screening peduli lindungi,
#5 rumah masyarakat juga harus memiliki ventilasi yang baik
Sisi hulu tersebut lebih dekat dengan upaya-upaya pencegahan dan antisipasi. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Apalagi kita masih ingat kala di puncak pandemi terbukti mereka yang belum divaksin memiliki risiko tinggi saat terpapar Covid-19. Gelombang demi gelombang pandemi telah memberi pelajaran bahwa setiap pengabaian dan kelengahan adalah bencana.
Pemerintah hampir di setiap negara mengalami dilema di antara pilihan ekonomi dan kesehatan. Pilihan itu menjadi lebih sulit manakala faktor edukasi. Banyak kalangan yang tidak menggunakan pendekatan sains empirik untuk memahami pandemi dan berujung pada penyangkalan dan pengabaian.
Dari sisi hilir pemerintah akan bertumpu pada berbagai langkah strategis. Meski bukan hal baru namun sejumlah langkah ini tidak boleh dianggap sepele. Pada saat puncak wabah kita mengalami sejumlah masalah pelik di hilir. Tentu sekuat mungkin kita harus mampu mengatasinya.
#1 meningkatkan kapasitas rumah sakit,
#2 menyediakan tenaga kesehatan yang cukup,
#3 mengamankan ketersediaan oksigen dan obat-obatan.
#4 membiasakan diri hidup berdampingan dengan Covid-19
#5 menjaga protokol kesehatan.
JIka strategi hulu hingga hilir ini mampu diimplementasikan tentu akan mengurangi risiko di masa yang akan datang. Ancaman masih ada meski berkurang. Dan masyarakat yang mampu belajar dari situasi sulit dengan bijak akan mampu bertahan bahkan menjadi lebih kuat. Tak hanya secara fisik, juga secara mental dan spiritual.