Soedirman, Oerip Soemohardjo dan Pemilihan Panglima Tentara

Soedirman, Oerip Soemohardjo dan Pemilihan Panglima Tentara
Soedirman dan Oerip Soemohardjo serta beberapa Tokoh dalam sebuah kesempatan/ net

MONITORDAY.COM - Perbincangan tentang siapa yang akan menjadi Panglima TNI sedang menghangat. Menjadi Panglima di tubuh institusi militer yang sudah mengalami reformasi menjadi organisasi profesional tentu merupakan amanat berat. Tak sembarang orang mampu mengemban tugas itu, alih-alih memperebutkannya. Meski TNI adalah organisasi yang paling siap dalam regenerasi. 

Para prajurit Saptamarga dan rakyat Indonesia perlu menengok kembali keteladanan dua orang besar yang memimpin korps baju hijau di awal kemerdekaan. Saat itu namanya Tentara Keamanan Rakyat atauTKR. Tentara yang lahir dari rakyat dan terlah mengawal perjalanan bangsa hingga hari ini. Dua tokoh itu adalah Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemoharjo.   

Keduanya tokoh yang disegani dan saat itu menjadi calon kuat untuk menduduki jabatan sebagai Panglima Besar Tentara Indonesia. Panglima tentara dari sebuah Republik yang baru lahir. Dengan keterbatasan peralatan dan anggaran. Memanggul amanat berat dengan imbalan rasa hormat dari segenap rakyat. Soedirman memiliki kharisma dan kepemimpinan yang menonjol. Oerip memiliki wawasan, pengetahuan dan manajamen organisasi yang kuat.   

Dua-duanya punya latar belakang pendidikan militer. Dari sisi usia Soedirman lebih yunior. Soedirman berasal dari PETA. Sementara Oerip adalah mantan perwira KNIL. Mereka yang kala itu tidak suka pada Soedirman sebab ia dianggap eks-kolaborator Jepang. Mereka ingin menyingkirkannya. Sementara di pihak lain banyak juga yang tak senang dengan latar belakang Oerip sebagai mantan perwira tentara Hindia Belanda. Apalagi Oerip lebih lancar berbahasa Belanda daripada berbahasa Indonesia. Oerip dianggap sebagian orang sebagai bagian dari kekuasaan masa lalu dengan warna feodal dan kolonial. 

 

Pada akhirnya tentara Republik harus memiliki panglima. Dan pada saat yang paling krusial ada sejumlah mandat suara yang menjadikan Soedirman terpilih menjadi Pangsar. Dan Oerip pun menduduki jabatan Kepala Staf Umum. Sebagai tentara yang dilatih dalam akademi militer modern, peran Oerip sangat besar dalam menata organisasi tentara agar dapat tumbuh menjadi lembaga yang kuat dan rapi.

Soedirman dan Oerip memiliki kesamaan pada jiwa kesederhanaan mereka. Soedirman bahkan mengorbankan harta pribadinya untuk bekal gerilya. Oerip juga sosok sederhana yang mengayomi dan memikirkan kehidupan anak buahnya. Meski lebih senior dan satu-satunya pribumi yang mencapai pangkat perwira menengah di KNIL Oerip bersedia menerima jabatan Kasum.  

Latar belakang Oerip memang dari kalangan ningrat. Ia memperoleh kesempatan belajar dan mengecap bangku sekolah. Setamat sekolah dasar, Oerip dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang. Ibunya wafat saat ia menjalani tahun kedua di sekolah, dan Oerip berhenti sekolah untuk mengikuti pelatihan militer di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta). 

Setelah lulus pada tahun 1914, ia menjadi letnan di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), tentara pemerintah kolonial Belanda. Bertugas selama hampir 25 tahun, ia ditempatkan di tiga pulau berbeda dan dipromosikan beberapa kali, dan akhirnya menjadi perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.

Sebagai tentara profesional, Oerip kerap kecewa karena sikap politik pemerintah, baik terhadap militer Indonesia maupun dalam menghadapi Belanda. Kekecewaan itu sampai membuatnya ingin mengundurkan diri. Kendati berhasil membangun tentara Indonesia, tetapi Oerip seakan dilupakan. Kita lebih mengenal Jenderal Soedirman yang mengalahkan Oerip dalam pemilihan sebagai Panglima Besar.

Padahal, sebagaimana dwitunggal Soekarno-Hatta, Soedirman-Oerip merupakan dwitunggal dalam memimpin tentara. Mereka seperti “abang dan adik”. Oerip lebih suka memanggil Soedirman, “Dimas”; dan Soedirman memanggilnya, “Kangmas atau Pak Oerip.”Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. 

Sementara Soedirman tak diragukan lagi sebagai inspirator bagi para prajurit. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. 

Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian diasingkan ke Bogor.