SMK, ‘Dilan’ dan Masa Depan Perfilman Indonesia
Terdapat hubungan yang prospektif antara SMK, budaya tayangan kita yang diwakili ‘Dilan 1990’ dan masa depan perfilman Indonesia.

SEKILAS memang tak ada kaitan yang berarti antara SMK, Film, dan ‘Dilan’ yang sampai detik ini masih ngehits. Selain Dilan yang memang tidak sekolah di SMK namun di SMA, juga karena di zaman ‘Dilan 1990’, belum ada satu pun SMK yang terkait dunia perfilman atau pun broadcasting. Tercatat baru tahun 2004 ide SMK Broadcasting dicetuskan Direktur PSMK saat itu, Dr. Ir. Gatot HP.
Padahal, bila kita telisik lebih dalam, terdapat hubungan yang prospektif antara SMK, budaya tayangan kita yang diwakili ‘Dilan 1990’ dan masa depan perfilman Indonesia. Karena ini sesungguhnya bukan hanya persoalan like dan dislike, atau soal jumlah penonton yang fantastis semata. Film ‘Dilan 1990’ atau juga pernah terjadi pada ‘Ayat-ayat Cinta’ sesungguhnya juga bersifat sosial-antropologis.
Soal budaya tayangan kita, ini menjadi krusial. Karena ternyata, ada banyak orang yang belum dapat memisahkan realitas kehidupan dari budaya tayangan terutama film dan sinetron. Contoh paling mutakhir bagaimana kemudian budaya tayangan ini begitu mempengaruhi sikap masyarakat kita adalah kasus perceraian ‘Ahok dan Veronika’.
Ketika pertama kali isu ini mengemuka, publik dan terutama para pendukung Ahok langsung heboh lantaran emosinya yang teraduk-aduk dan bahkan air mata yang berlinang. Padahal, Ahok sendiri baik-baik saja. Kata Ariel Heryanto, keputusan itu malah menjadi bukti kemampuan jernih seorang Ahok membedakan dua kepentingan yang beradu, lalu diharuskan memilih salah satu.
Budaya narsis disebut menjadi penyebabnya, bagi sebagian orang mencari segala bentuk kepuasaan, hiburan, tontonan, dan kesenangan menjadi sebuah keniscayaan hidup. Budaya narsisisme cenderung menciptakan masyarakat yang lebih senang berkeliaran menciptakan masyarakat konsumtif ketimbang berjerih payah mengembangkan pengetahuan. Masyarakat kita saat ini menguat hasrat memilikinya (active analytic desire) namun kurang memiliki hasrat identifikasi (passive analitice desire).
Nah, disinilah kaitannya dengan upaya meredefinisi budaya tayangan dan sekolah SMK kita saat ini dan di masa depan. Misi utamanya adalah mencegah kemungkinan terburuk dari turunan konstruksi identitas yang bersandar pada budaya narsis, yakni penilaian yang singkat dan dangkal atau snap judgment.
Revitalisasi SMK Perfilman
Kabar baiknya, Sekretaris Jenderal Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Sesjen Kemendikbud) Didik Suhardi mengungkapkan setidaknya terdapat 18 Sekolah Kejuruan (SMK) yang tahun ini siap direvitalisasi untuk menyiapkan tenaga terampil di bidang perfilman.
Menurut Didik, Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan SMK sedang menyiapkan mekanisme bantuan teknis dan non teknis untuk mendorong peningkatan kapasitas SMK tersebut.
“Kemendikbud, dalam hal ini Pusbangfilm dan Direktorat Pembinaan SMK dapat memberikan pembinaan kepada SMK di bidang broadcasting agar dapat menyediakan tenaga perfilman yang berkualitas,” tutur Didik di sela acara pembukaan Rapat Koordinasi Pengembangan Perfilman Indonesia, di Batu, Selasa malam (13/2/2018).
Menurut Sesjen Kemendikbud, dari hasil pemetaan, saat ini terdapat 112 SMK yang memiliki jurusan/peminatan broadcasting yang dapat dikembangkan menjadi SMK bidang perfilman. Kemendikbud akan memastikan pengembangan kapasitas SMK tersebut dapat menjawab tantangan perfilman nasional, khususnya dalam menghadapi era persaingan global.
Masa Depan Film Indonesia
Tentu saja apa yang saat ini tengah diupayakan pemerintah maupun pegiat perfilman lainnya, sejatinya tak hanya berhenti pada urusan jumlah penonton atau urusan pasar. Karena kalau hanya untuk urusan jumlah penonton, maka ‘Dilan 1990’ atau pendahulunya ‘Ayar-ayat Cinta’ sudah membuktikannya. Di hari ke-20 ‘Dilan 1990’ menghiasai bioskop Tanah Air, film ini sukses meraup jajaran lima besar film Indonesia terlaris sepanjang masa.
Sampai kini, jumlah penonton besutan Fajar Bustomi ini telah mencapai 5.184.357 penonton, yang artinya menggeser film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 dari lima besar box office film Indonesia.
Soal perolehan jumlah penonton yang fantastis ini tentu saja cukup membanggakan para insan perfilman Indonesia. Namun perlu juga diingat bahwa, jumlah penonton tak serta merta menjadi ukuran dari kualitas film. Kata sosiolog Ariel Heryanto, peningkatan kualitas film harus dibahas lebih detail. Karena selama ini kita hanya fokus dengan urusan pasar, namun sedikit lupa urusan kualitas film atau lebih luas tayangan kita di layar kaca.
Program Revitalisasi SMK yang di tahun ini masih pada tahap konsolidasi dan inisiasi, sesungguhnya memberi secercah harap akan kemajuan perfilman Indonesia, baik dari sisi kuantitas penonton maupun kualitas tayangannya. Apalagi soal kualitas tayangan ini Kemendikbud pun tengah fokus menjalankan program pendidikan karakter. Upaya ini dilakukan agar selain kreatif, lulusan SMK maupun sekolah lainnya juga memiliki sopan santun, toleransi, solidaritas, kepedulian sosial dan kebersamaan (jiwa korsa, gotong royong, kerja keras, merasa sepenanggungan dan lain-lain.
Dalam konteks budaya tayangan, maka orientasi inilah yang sejatinya ditanamkan, bukan budaya narsis yang membuat masyarakat kita makin konsumtif, yang menguat hasrat memilikinya (active analytic desire) namun kurang memiliki hasrat identifikasi (passive analitice desire).
[Ma’ruf Sagara Ilmi]