Sistem Zonasi dan Pemerataan Akses Pendidikan
Antara pemerataan dan kompetisi berprestasi menjadi tantangan dalam penerimaan siswa baru

MONDAYREVIEW- Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah telah diberlakukan. Banyak fihak yang mengapresiasi, meski banyak pula yang mengkritisi dan memberi catatan khusus atas ekses dan kendala teknis di lapangan. Pertimbangan antara kompetisi dan pemerataan dalam sistem penerimaan siswa perlu diperhatikan dengan seksama.
Pertarungan sengit merebut bangku sekolah favorit, terutama di tingkat SMU memang telah mentradisi. Seakan masa depan gemilang hanya bisa diraih dengan masuk di lingkungan sekolah tersebut. Dan kesuraman segera membayang tatkala terlempar dari seleksi meraih gengsi dan reputasi.
Keterlibatan masyarakat terutama melalui komite sekolah dapat lebih dioptimalkan. Termasuk di dalamnya pendekatan yang terintegrasi antara pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam mensukseskan program pendidikan. Dalam kasus penerbitan dan penggunaan SKTM, misalnya, membutuhkan kepekaan dan peran semua fihak dalam masyarakat untuk mengontrol dan bersikap kritis sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.
Kebijakan Zonasi ini mendorong para pemangku kepentingan dalam pendidikan akan lebih terpacu untuk mengimplementasikan politik anggaran yang berfihak pada pendidikan. Para siswa juga bisa mengembangkan kecerdasan sosialnya ketika berteman dengan siswa yang memiliki latar belakang yang beragam. Kompetisi tetap diperlukan, namun kemampuan kerjasama harus ditumbuhkan.
Hal yang selama ini sering terasa senjang dan dikeluhkan banyak fihak adalah kesempatan untuk mendapatkan tambahan pelajaran melalui les atau bimbingan belajar (bimbel). Siswa dari keluarga yang relatif mampu akan mendapatkan tempat les yang berkualitas. Sementara sekolahnya adalah sekolah favorit.
Guru akan terpacu menjadi pengajar yang profesional sekaligus mampu menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi di lapangan. Kualitas input dan latar belakang sosial ekonomi yang beragam menjadi tantangan dan menuntut tanggung jawab para pendidik untuk menjalankan amanat konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan pola didahulukan jalur lokal, per zona, memberikan kesempatan lebih banyak siswa diterima di sekolah yang selama ini mendapat predikat tidak resmi sebagai sekolah unggulan maupun yang tidak unggulan.
Siswa penerima KJP, dan difable bisa pilih di sekolah mana saja akan diterima dengan nilai berapapun. Dengan kuota 5%, maka siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu mendapat kesempatan untuk mengakses pendidikan. Prioritas ini memang membutuhkan transparansi terkait penerbitan SKTM (SUrat Keterangan Tidak Mampu). Jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
Jalur umum tetap berpeluang tetap diisi oleh siswa-siswi dg nilai tinggi. Porsinya sepertiga atai 35% dari keseluruhan. Bagaimana strategi untuk bisa masuk melalui jalur ini? Para siswa sudah memahaminya dengan baik. Jalur umum ini memberikan peluang bagi para siswa untuk berkompetisi memperoleh akses ke sekolah yang dianggap memiliki lingkungan belajar yang lebih kompetitif. Mereka yg belum dapat sekolah negeri melalui jalur zonasi karena nilai terlalu rendah, kemungkinan besar mendapat kesempatan di jalur umum, kalau kuota belum terpenuhi.
Apakah anak-anak dengan prestasi akademik yang rendah dapat terpacu prestasinya di sekolah unggulan yang dekat dengan tempat tinggalnya? Tantangan itulah yang harus dijawab dengan kerja nyata dan kerja keras para guru dan manajemen sekolah. Sehingga siswa yang selama ini kurang berprestasi karena kendala ekonomi, kurangnya fasilitas, tidak mendapatkan guru yang tepat, dapat memiliki kesempatan untuk meraih masa depannya yang cemerlang.
Lembaga bimbingan belajar mungkin akan mengalami tekanan akibat kebijakan zonasi. Pertanyaannya sejauhmana peran lembaga bimbingan belajar menetukan masa depan dan prestasi peserta didik. Mengapa pendalaman materi di sekolah tidak mampu mendongkrak prestasi akademik para siswa? Menjadi tanggung jawab semua fihak untuk mengupayakan agar kegiatan belajar-mengajar di sekolah dapat berlangsung dengan optimal. Dan orang tua memeliki peran selebihnya ketika anak-anaknya sudah berada di luar sekolah agar tetap disiplin dalam belajar.