Say Hello to Yellow: Ironi Manusia Modern

MONDAYREVIEW.COM—Jakarta. Hari ini, kuno seringkali diwakili dengan tak digenggamnya sebuah gawai atau telepon selular. Bukti kemajuan setidaknya dilihat dari kepemilikan sebuah ponsel. Dan ponsel pada dasarnya diciptakan untuk mendekatkan yang jauh, bukan sebaliknya. Namun apa yang terjadi sekarang? Ponsel justru menjauhkan yang dekat.
Situasi itulah yang ingin dipotret oleh BW Purba Negara dengan film pendeknya berjudul Say Hello to Yellow (Desember, 2011). Film berdurasi 20 menit ini merupakan produksi limaenam film dari Yogyakarta. Film ini merupakan kolaborasi dengan Persekutuan Sahabat Gloria. Say Hello to Yellow merupakan film keempat yang disutradarai oleh BW Purba Negara, setelah beberapa bulan sebelumnya ia juga merilis film pendeknya “Bermula dari A” (Mei, 2011)
Say Hello to Yellow bertutur tentang Risma dan teman-teman barunya. Risma adalah anak baru di desa, anak ibu bidan yang baru pindah dari kota. Di sekolah barunya, ia berkenalan dengan Kurniati dan Ranto. Risma sangat menyukai warna kuning, sementara Kurniati menyukai warna pink yang disebutnya jambon. Risma berlogat kota dan kemana-mana ponsel serta suka berlagak menelepon, sehingga komunikasi antara Risma dengan kawan-kawan barunya kurang berjalan baik. Perbedaan Risma dengan teman-teman barunya semakin kentara ketika ia enggan bermain bersama Ranto dan Boni.
Meskipun demikian, Ranto tetap berusaha berteman dengan Risma. Apalagi Ranto juga menyimpan buku Risma yang hilang. Suatu hari, Risma terpaksa ikut Kurniati ke bukit. Bukit adalah nama yang seringkali muncul pada beberapa waktu tertentu di beberapa aktor. Hal ini menimbulkan tanda tanya buat Risma. Pertanyaan yang menimbulkan misteri.
Jika kita mendudukan film sebagai kritik. Maka film ini adalah kritik yang sempurna. Meski dimainkan dengan karakter anak usia sekolah dasar dan setting pedesaan-perbukitan, namun pada sisi yang lain, kehidupan urban dan kedewasaanlah yang disasar oleh film ini. Kegagapan orang dewasa disuguhkan dengan keluguan yang kadang terasa satir.
Film ini menyuguhkan tentang tema yang cukup berat, yakni konflik budaya namun dalam balutan kesederhanaan bertutur khas film pendek. Beberapa scene bahkan mampu memperluas radius kritik film yang tak hanya bicara pada kritik atas kehidupan urban dan kegandrungan akan teknologi. Film ini juga mampu memberikan gambaran akan isu keberagaman yang genuine. Keberagaman yang bukan merupakan produk populisme media, tetapi keberagaman sebagai keseharian lewat aktifitas bermacam doa yang dipraktikkan anak SD kepada Tuhan yang maha esa.
Secara teknis, film ini hampir tidak memiliki kekurangan. Angle pengambilan gambar, plot, tata suara dan pemeranan sangat pas. Tak ada yang berlebihan. Semuanya mengalir begitu saja. Durasi waktu 20 menit sangat tak terasa. Hamparan alam Gunung Kidul juga memberikan ruang yang menarik untuk menggambarkan tentang keterasingan.
Beberapa nominasi prestasi pernah dicatat film ini, antara lain; nominasi film pendek terbaik FFI (2011), Nominasi Ladrang Award Festival Film Solo (2011), Nominasi Internasional Children Film Festival di Isfahan, Iran (2011) dan meraih Film Pendek Terunggul Apresiasi Film Indonesia (2011) pada 2012. Pada 2013, film ini memenangi Local Culture Film Festival (LOCFEST) 2013.
Dalam sebuah review, disebutkan bahwa film ini memotret tentang jebakan ilusi dan kepura-puraan. Potret lugu atas modernitas yang angkuh dan gagap. Sebagaimana pandangan yang pernah disampaikan oleh sosiolog Inggris terkemuka, Anthony Giddens tentang apa yang ia sebut dengan modernitas yang tunggang langgang. Dunia yang kini kita jalani sebagai “dunia tunggang langgang”, sebuah dunia yang kini terjerumus dan terpenjara ke dalam berbagai bentuk.
Metaforik Giddens meyakini kita semua sekarang terbirit-birit, terputar-putar dan terbolak balik di “lingkar tak bermoral di antara perasaan geram dan tersengat” (vicious animosity and venom). Semisal Truk Raksasa, dunia ini membawa banyak muatan, berlari kencang, terbirit dan terputar di situ-situ saja, tanpa tujuan.
Gawai yang pada mulanya adalah alat bukan tidak mungkin akan melumat manusia karena kelemahan manusia mengatasinya. [] HP