Sambangi UNJ, Prof Rokhmin Ungkap Peluang Indonesia Jadi Negara Maju

Sambangi UNJ, Prof Rokhmin Ungkap Peluang Indonesia Jadi Negara Maju
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof Rokhmin Dahuri (Foto: Monitorday.com)

MONITORDAY.COM - Indonesia memiliki modal dasar yang lengkap dan besar untuk menjadi bangsa ,maju, adil-makmur dan berdaulat. Apalagi negeri ini sudah memiliki modal dasar roadmap pembangunan.

Hal ini disampaikan oleh Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof Rokhmin Dahuri kepada peserta Sekolah Kebangsaan dan Peradaban di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang dibarengi dengan buka puasa bersama civitas akademika UNJ, Jum'at (28/4/2021).

Kegiatan yang dilaksanakan secara hybrid (offline dan online) cukup memukau peserta.

Menurut Prof Rokhmin yang juga sesupuh Tokoh Cirebon, jumlah penduduk 270 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 – 2040 merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestik yang luar biasa besar.

Selain jumlah penduduk, Indonesia dikenal kaya dengan sumber daya alam (SDA) baik di darat maupun di laut

Kemudian, posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 trilyun dolar AS setiap tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2012).  Diketahui, selat malaka (ALKI-1) merupakan jalur transportasi laut terpadat di dunia, dimana  200 kapal setiap harinya. 

Meski negeri ini memiliki potensi keraawanan bencanaan alam yang tinggi (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri), mestinya memberikan tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University juga menyebutkan pola aliran perdagangan Indonesia ke berbagai belahan dunia. Misalnya Indonesia ke Eropa sebesar 11,45 %, Indonesia ke Australia sebesar 11,07%, Indonesia ke Asia sebesar 60,93%, Indonesia ke Amerika sebesar 12,49% dan Indonesia ke Afrika sebesar 3,6%.

Namun kata Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara menjelaskan Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun lalu sebesar USD 3.911,7. Angka ini turun dibandingkan perhitungan yang dilakukan Bank Dunia pada 2019 sebesar USD 4.050.

Dengan tingkat pendapatan per kapita tersebut turun kelas sedikit di bawah negara berpendapatan menengah atas atau upper middle income. Namun menurut pendapatnya, Indonesia belum masuk ke pendapatan menengah bawah atau lower middle.

Lantas bagimana klasifikasi negara berdasarkan indeks pencapaian tekhnologi, perkembangan inovasi dan daya saing teknologi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. 

Menurut Global lnnovation Index (GII) 2018, alokasi anggaran Indonesia terhadap penelitian dan pengembangan teknologi mencapai Rp 27 triliun. Angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan Filipina sekitar Rp 12 triliun dan Vietnam Rp 24 triliun.

Sebesar 80 persen dari anggaran tersebut masih bersumber dari pemerintah. Sedangkan 20 persen lainnya dikeluarkan pihak swasta. Kondisi ini berbeda dengan negara di ASEAN, di mana pengembangan teknologi didominasi oleh industri.

Sementara itu, jumlah peneliti Tanah Air masih kalah dibandingkan dengan sejumlah negara Asean. Saat ini, Indonesia hanya memiliki 89 peneliti per juta penduduk. Sedangkan Vietnam memiliki 673 peneliti per juta penduduk.

Indonesia menduduki peringkat-99 dari 167 negara duntuk kategori negara adaptor tekhnologi namun belum di level negara inovator tekhnologi dan negara pelaksana tekhnologi.

Lalu apa penyebab ketertinggalan Indonesia, Prof Rokhmin mengungkapkan 2 hal yakni secara internal dan eksternal.

Internal

  1. Belum ada “Road Map Pembangunan Nasional yang Komprehensif, Tepat, dan Benar” yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
  2. Kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, dan etos kerja) relatif rendah.
  3. Akhlak belum baik (seperti budaya “sms” susah Kerjasama, tidak amanah, dan hedonis).
    Belum ada pemimpin yang capable, negarawan, dengan IMTAQ kokoh.

Eksternal 

  1. Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang.
  2. Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat
  3. Pertarungan ideologi

Akhir paparannya, Prof Rokhmin menjelaskan, sejarah dan fakta empiris membuktikan, bahwa bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat sejak masa Kejayaan Romawi, Era Keemasan Umat Islam (Fathu Makkah 645 M – berakhirnya Khilafah Utsmaniyah Turki 1924 M), hingga hegemoni Kapitalisme (1924 M – sekarang) adalah mereka yang memiliki SDM berkualitas yang mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan hasil riset (inovasi IPTEKS) dalam segenap aspek kehidupan bangsanya. 

Prof Rokhmin kembali menegaskan Indonesia berpeluang menjadi Negara Maju selama negeri ini memiliki ‘innovation-driven economy’ .