Saat Politik Menghancurkan Pilar Kebangsaan Kita
MPR RI bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra menggelar sosialisasi 4 pilar, yaitu Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI

MONDAYREVIEW- Di tengah-tengah semakin tajamnya pergolakan politik, terutama menyambut Pemilu Presiden 2019, membawa dampak kepada persoalan sosial bangsa Indonesia. Prof. Bachtiar Aly menegaskan keprihatinannya akan semakin menajamnya perpecahan di tengah-tengah masyarakat, termasuk di kalangan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas.
“Problem yang memprihatinkan adalah justru dalam umat Islam ini terjadi faksi-faksi. Faksi itu boleh secara internal, namun ketika itu sudah dieksploitasi untuk kepentingan politik, ya prihatin aja kita,” tegas Bachtiar dalam kegiatan Sosialisasi 4 Pilar yang diselenggarkan oleh MPR RI bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Ahad lalu (7/5)
Kondisi ini diperparah dengan munculnya banyaknya pihak yang mengemukakan opini-opini tanpa memiliki kualifikasi yang memadai. Akibatnya, masyarakat disimpang-siurkan dengan adanya informasi yang tidak utuh dan menyesatkan. “Republik kita ini, jadi kacau balau , karena banyak orang bicara tidak kompeten, bukan bidangnya. Pokoknya bicara aja. Efeknya bagaimana, kumaha engke (terserah nanti),” tegas pakar komunikasi yang juga mantan Duta Besar RI untuk Mesir ini.
Menurut Bachtiar, yang juga penasihat ahli Kapolri selama 15 tahun ini menyesalkan bahwa bahkan tokoh-tokoh politik dari berbagai haluan yang berbeda pun seringkali melanggar etika komunikasi. “Kita tidak berharap di sini terjadi clash sampai terjadi konflik horizontal, antara NU-Muhammadiyah, Sunni-Syiah, manurut saya diskusi semacam ini harusnya sudah selesai,” jelasnya.
Karena Islam itu, Rahmatan lil ‘Alamin, maka konsepnya universal. Begitu pula, dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Bachtiar, Pancasila sebagai ideologi sudah final. Upaya mengubah Pancasila sebagai ideologi negara dari sebagian kalangan ekstrimis Muslim, tampak ahistoris, melupakan sejarah bahwa rumusan Pancasila sebagai ideologi Pancasila pun melibatkan tokoh-tokoh ulama, disamping mendiskusikannya dengan tokoh nasionalis lainnya.
Demikian pula, penghilangan 7 kata dalam butir pada piagam Jakarta, yaitu “kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya” dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, pun tidak merugikan umat Islam itu sendiri, karena mengandung muatan tauhid yang merupakan asas keimanan dalam Islam. Tidak pula hal ini merugikan penganut agama lain.
Karenanya, tak ada cara lain kecuali harus kembali memahami Pancasila sebagai Ideologi Negara, disamping UUD 1945 sebagai konstitusi, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan dan NKRI sebagai bentuk negara memerlukan pengetahuan dan informasi yang utuh dan tidak parsial.
Selaras dengan ini Dr. Khalid Al Walid menegaskan, persoalan ekslusifisme dan anti-kebinekaan memang seringkali muncul karena adanya luapan emosi keberagamaan umat yang begitu tinggi namun tidak disertai keutuhan dalam mempelajari sumber-sumber agama. Khalid memandang sikap semacam ini menjadi salah satu sumber masalah sehingga sosialisasi 4 pilar, yang salah satunya adalah terkait kebinekaan, menjadi salah satu yang sangat diharapkan untuk terus disemarakkan. (Hadi Kadarisman)