Mainstreaming Washatiyyah Islam: Agar Dakwah Islam Membebaskan, Penuh Kedamaian dan Kasih Sayang
Tawaran untuk berdialog dengan modernitas merupakan jalan lain yang patut dipertimbangkan untuk menjalankan kehidupan selanjutnya.

RATUSAN tahun silam, jauh sebelum Masehi, orang-orang dari India sudah datang ke desa kita, mengajarkan titah Sidarta Gautama, membeli rempah, kapur barus, dan komoditas khas nusantara lainnya.
Bahkan Alexander Agung pernah menyatukan separuh dunia di dalam genggamannya. Jalur Sutra juga sudah menghubungkan orang-orang dari daratan Eropa dan Asia beberapa ratus tahun silam.
Sekitar abad ke-14 atau ke-15, Haramain (Mekkah dan Madinah), telah menjadi lokus utama tempat para ulama dari seluruh dunia Islam berinteraksi membangun jaringan ‘global’. Bedanya, semua itu dibangun dengan batasan ruang dan waktu yang teramat luas dan lama.
Bayangkan dunia saat ini, dengan jaringan komunikasi dan transfortasi nan canggih global, semua urusan bisa dipermudah dan dipercepat hanya sepersekian jam, menit, bahkan detik. Betullah kiranya apa yang dikatakan Thomas L. Friedman, bahkan ‘dunia tampak begitu datar’, the worlf is flat. Menurutnya, dunia saat ini kian tanpa batasan (borderless) ruang dan waktu.
Sayang, tak semua orang bisa menerima perubahan dunia saat ini. Masih banyak yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan posmodernitas dan globalisasi telah mendehumaniasi kemanusiaan manusia. Membuat kehidupan jadi penuh senda gurau, penuh main-main.
Disinilah pentingnya apa yang disampaikan oleh Syeikh Muhammad Ath-Thayyeb, kemarin dalam Pertemuan Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) di Bogor (1/5). Dalam pertemuan yang diikuti sejumlah ulama lintas negara dan dunia Islam tersebut, Dia mengajak umat Islam untuk tidak terjebak dalam arus fundamentalisme maupun ekstremisme agama.
Bersama para ulama lintas negara, Imam Besar Al-Azhar ini juga membincang tentang tawaran konsep washatiyah dalam Islam. Washatiyah sendiri bisa dimaknai dengan adil, atau moderat, dan tidak berlebihan (ghuluw).
“Jangan terlalu ekstrem dalam melakukan sesuatu, kita harus berada di posisi tengah (washat). Sebab, segala sesuatu yang ekstrem dan berlebihan itu tidak baik,” ujarnya.
Syeikh Muhammad Ath-Thayyeb menjelaskan tentang konsep washatiyah. Menurutnya, sudah banyak sebenarnya yang memikirkan hal ini dan menanggapinya sebagai salah satu jalan terbaik untuk kehidupan bersama. “Konsep agama Islam yang berjalan di tengah. Allah sudah katakana, umat Islam umat washatiyah dalam al-Qur’an. Agar umat Islam jadi saksi, washatiyyah dan adil dalam beragama,” pungkasnya.
Setiap manusia adalah melankolis, demikian kata Niestzsche dalam bukunya ‘On the Advantage and Disadvantage of History of Life’. Ungkapan ini terasa pas dan mendekati kecenderungan masyarakat kita dalam menjalani hidup saat ini. Karena ada banyak orang yang terkadang merasa tidak nyaman dalam kehidupan nyata.
Kulminasinya, ketidakrealistisan menghadapi perubahan hidup pun melahirkan sikap-sikap pesimistis terhadap kehidupan. Lalu muncul memori yang mengharapkan kehidupan pramodern kembali hadir. Sekaligus melakukan oposisi terhadap realitas kehidupan mutakhir.
Sebagai bentuk oposisi tersebut, lahirlah apa yang saat ini disebut dengan fundamentalisme. Keyakinan bahwa perubahan yang ada mengancam penjelasan teologis tentang realitas. Paham ini memandang modernisme telah mendekonstruksi pemahaman ajeg tetang kehidupan dan realitas.
Modernisme akan kian dianggap paradoks, bila persoalannya kita tarik ke ranah otoritas dan kepemimpinan. Karena dalam kerangka fundamentalisme, otoritas atau kepemimpinan tak bisa lepas dari yang namanya ‘mandat langit’. Sejarah kesultanan ataupun kekhilafahan, senantiasa berkutat di ranah tersebut.
Tampaknya, tawaran untuk berdialog dengan modernitas merupakan jalan lain yang patut dipertimbangkan untuk menjalankan kehidupan selanjutnya. Terutama untuk melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) washatiyyah islam.
Supaya kelak, para pemimpin dari kalangan Islam memimpin sebuah negeri, atau bahkan dunia, laiknya Al-Fatih, yang mengatakan, “Jangan khawatir. Mulai sekarang hidup kalian, harta kalian, dan takdir kalian, adalah bagian dari kami juga. Kalian bebas hidup menurut keyakinan kalian”.