Retorika ‘Politik Amien’ Yang Kembali Menuai Polemik
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta agar publik cerdas dan dewasa dalam menanggapi Polemik Retorika Amien Rais.

JUM’AT PAGI (13/4), saat udara Jakarta masih menyisakan dingin yang sedikit menggigit, di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Amien Rais bersama para jamaah tampak antusias mengikuti ‘Gerakan Indonesia Shalat Subuh Berjamaah’.
Usai shalat subuh Amien yang didaulat untuk memberikan tausiyah, menyampaikan beberapa pesan seperti laiknya dalam tausiyah-tausiyah agama biasa. Bedanya, kala itu Amien sempat melakukan dikhotomi partai politik dalam dua kutub yang berbeda, antara ‘partai Allah’ dan ‘partai setan’.
Dalam pernyataannya, Amien Rais mengatakan bila saat ini harus digerakan seluruh kekuatan bangsa untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. “Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? Untuk melawan hizbusy syaithan,” kata Amien dalam tausiyahnya ketika itu.
Ia melanjutkan, “Orang-orang yang anti Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai setan. Ketahuilah partai setan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhirat. Tapi di tempat lain, orang yang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya hizbullah, Partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetic kejayaan.”
Terang saja, tak lama setelah itu, pernyataan Amien Rais itu pun menyebar luas dan menuai beragam kritik, baik yang membangun atau bahkan yang membabi buta. Tak sedikit orang yang mengamininya, namun tak sedikit pula yang mengkritiknya dengan keras.
Tak hanya kritik, Ketua Cyber Indonesia Aulia Fahmi bahkan melaporkan Amien ke Polda metro Jaya. Menurutnya, pernyataan Amien Rais itu juga bernada ujaran kebencian sehingga harus diproses hukum. Setidaknya ada tiga hal yang dipermasalahkan oleh Cyber Indonesia dalam pernyataan ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional itu.
Menurut Aulia, kalau hanya tiga partai yang disebut sebagai partai Allah, maka ini berarti partai lain dianggap sebagai partai setan. “Atau kelompok lain adalah kelompok setan. Maka itu kami melihat di sini sudah ada indikasi, ada dugaan bahwa dia telah berupaya untuk memecah belah persatuan bangsa,” kata Aulia.
Sejumlah media sempat mengkonfirmasi Amien Rais sendiri, dan jawabannya ia enggan membeberkan partai apa saja yang masuk kategori hizbus syaithan tersebut.
“Saya enggak katakana begitu. Jadi bukan partai, tapi cara berpikir. Cara berpikir yang untuk Allah dan yang diikuti oleh setan. Gelombang pro setan merugi, gelombang besar yang didikte kehendak Allah pasti menang,” kata Amien.
Di tengah bersliwerannya tanggapan sejumlah pihak atas pernyataan Amien Rais tersebut, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pun buka suara, ia berusaha menanggapi pernyataan Amien Rais yang menuai polemik itu. Ia menyebut pernyataan Dewan Penasihat Partai Amanat nasional itu sebagai bahasa simbol yang biasa dilontarkan oleh seorang politisi untuk beretorika.
“Para politisi maupun tokoh itu kan sering beretorika dengan retorika yang bukan verbal, tetapi simbolik. Nah, retorika verbal dan simbolik itu sering tidak ketemu,” ujar Haedar, di kediamannya, di Bantul, Selasa (17/4/2018).
Karena itu, Haedar meminta agar publik cerdas dan dewasa dalam menanggapi hal semacam ini. “Baik tokoh maupun masyarakat harus punya klik yang nyambung antara bahasa verbal dengan bahasa politik (simbolik),” imbuhnya.
Haedar menghimbau, jangan sampai masyarakat justru menambah polemik dengan membawanya ke ranah hukum. Ia meminta jangan sampai sedikit-sedikit masalah politik dibawa ke ranah hukum.
Menurutnya, ada dua hal yang harus dijaga bersama oleh segenap elemen bangsa Indonesia. Pertama, dinamika politik yang demokratis dan sehat serta sesuai dengan konstitusi. Kedua, koridor hukum harus dipatuhi dalam kompetisi politik.
Karena itu haedar berpesan, agar berpolitik secara dewasa, dan harus tetap mematuhi rambu-rambu hukum. “Berpolitiklah semua secara dewasa dan dalam perbedaan. Agar di Indonesia ini tidak gampang polisi mempolisikan untuk hal-hal yang bersifat politis. Politik juga harus ada rambu-rambu agar tidak melanggar hukum,” pungkas Haedar.
[Mrf/Fsm]