Pseudo Kotak Kosong dan Poros Ketiga
Kemunculan Pasangan Calon Tunggal di 14 Pemilukada 2018 akankah menular ke Pilpres 2019?

MONDAYREVIEW.COM- Paslon tunggal terjadi di beberapa daerah. Sebagian masyarakat yang awam politik menilai, pemilukada dengan paslon tunggal adalah bentuk kemubaziran belaka. Para paslon tunggal ini akan berhadapan dengan Kotak atau Kolom Kosong di Pilkada. Untuk proses penghitungan suara, calon yang bersangkutan bisa terpilih bila memperoleh suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Hal ini sebagaimana termuat di pasal 54 D UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Ada 14 daerah dengan pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak 2018, antara lain : Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Prabumulih, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Tapin, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabuparen Enrekang, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Mamberamo Tengah.
Apakah fenomena ini diakibatkan oleh kuatnya sang paslon tunggal atau karena gagalnya kaderisasi dan konsolidasi politik? Banyak ulasan dikedepankan. Satu daerah dengan daerah lain juga bisa berbeda penyebabnya. Bila penyebabnya adalah kuatnya sang paslon tunggal, maka kekuatan itu juga bisa diurai karena unsur kapabilitas, kompetensi, rekam jejak, atau anasir lainnya.
Analisis ini diperlukan untuk mendorong pemilu dan pemilukada yang sehat. Rational Choice (pilihan rasional) secara teoritik menjadi salah satu pendekatan yang bisa menjelaskan posisi akal sehat dibalik keputusan seseorang dalam memilih kandidat. Seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Apakah akal sehat mendapatkan tempat kala dihadapkan pada pilihan paslon tunggal melawan kotak kosong?
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Pramono Ubaid Tanthowi berpendapat bahwa fenomena calon tunggal merusak esensi persaingan dalam politik. Salah satu penyebab masih ada calon tunggal dalam Pilkada adalah syarat pencalonan yang semakin berat. Syarat yang berat itu anatara lain bagi partai politik yang akan mengusung calon kepala daerah harus memiliki minimal 20 persen jumlah kursi di DPRD, syarat batas minimal dukungan bagi calon perorangan 6,5 persen dari jumlah pemilih tetap di daerahnya.
Sementara itu anomali terjadi seiring munculnya gejala paslon tunggal. Pemilukada dengan paslon tunggal justru terjadi di daerah-daerah yang relatif gemuk. Dengan jumlah pemilih yang cukup banyak dan kontestasi yang semestinya berlangsung lebih ketat. Perlu diwaspasdai bahwa di balik gejala ini, ada kekuatan politik kuat yang terkonsolidasi dalam jerat politik transaksional. Di tengah jalan politik yang masih menjadi jalan hidup (baca: mencari penghidupan) dan belum menjadi jalan pengabdian, maka sikap-sikap oportunistik berpeluang membunuh nilai-nilai dasar demokrasi.
Bisakah fenomena paslon tunggal ini merembet ke pilpres? Ini menjadi pertanyaan menarik. Karena calon tunggal di pemilukada banyak yang notebene berstatus petahana. Akankah pilpres yang menampilkan petahana yang kuat juga akan memunculkan fenomena paslon tunggal. Atau setidaknya pseudo paslon tunggal? Joko Widodo diperhitungkan oleh banyak kalangan menjadi calon presiden yang tak tertandingi hingga hari ini. Sehingga muncullah gejala untuk lebih baik berkonsentrasi menyiapkan calon wakil presiden bagi Jokowi.
Gejala lain yang muncul adalah munculnya wacana Poros Ketiga. Poros Ketiga bisa dibaca sebagai keterbelahan penantang dalam menghadapi kalkulasi head-to-head yang tidak berimbang menghadapi petahana. Apalagi prakarsa Poros Ketiga ini muncul dari partai-partai tengahan yang mendapat ancaman tergerusnya suara mereka oleh empat partai pendatang baru. Hingga prakarsa ini tidak bisa begitu saja dihindarkan dari penilaian khalayak yang menilainya sekedar jalan untuk meraih perhatian publik. Ujung-ujungnya, ya bergabung dengan pemenang pemilu atau calon yang paling berpeluang memenangi pemilu.
Konsolidasi para penantang sangat sulit dilakukan mengingat sikap partai politik yang masih sangat oportunistik. Sikap ini muncul karena ketergantungan parpol pada pundi-pundi ‘nutrisi’ yang berasal dari lingkaran kekuasaan, khususnya kekuasaan eksekutif. Bukan tidak mungkin ada kekuatan modal tunggal dan kuat di luar pemerintahan yang bermain. Bukan tidak mungkin pula kekuatan modal kuat dari segelintir elit pemodal yang dikombinasikan dengan crowdfunding dari khalayak bisa memnuculkan pilhan alternatif. Namun, besar kemungkinan di pemilu 2019, hal itu tidak terjadi.
Kemungkinan munculnya Capres Alternatif bisa saja mengejutkan banyak pihak. Hanya saja capres alternatif ini benar-benar menjadi pilihan rasional atau sekedar menjadi pemanis di panggung politik. Namun, pada tingkat elit hal yang tidak mungkin bagi publik bisa menjadi mungkin. Pada dasarnya elit politik akan cenderung menjadi satu untuk kepentingan kekuasaan. Kalkulasi pragmatis akan mendominasi, walau dibungkus dengan label demi kepentingan rakyat.
Publik harus diedukasi untuk melihat peluang bahwa kemunculan kotak kosong dalam Pilpres 2019 bisa terjadi, setidaknya pseudo kotak kosong atau pseudo paslon tunggal. Paslon penantang hanya boneka yang didorong untuk memuluskan jalan bagi petahana. Dengan harapan bahwa sang paslon bisa melakukan test the water untuk maju lagi di Pilpres 2024. Pilihan yang bisa ditempuh selain menjadi cawapres sang petahana.
Kehadiran beberapa nama di Bursa Capres ditengarai sebagai bagian dari Strategi ‘Memecah Ombak’. Strategi yang lebih banyak menguntungkan bagi sang petahana. Kekuatan penantang yang semakin tercerai berai dibutuhkan untuk memperkuat elektabilitas petahana yang dinilai belum aman. Targetnya elektabilitas petahana bisa mencapai 60%. Angka yang bisa memperkuat indeks kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan.
Bagi partai politik pendukung Jokowi, tentu juga ada wacana terkait pilpres 2024. Proyeksi ini akan mempengaruhi bagaimana konsolidasi dalam pemenangan Jokowi di Pilpres 2019. Kedekatan Jokowi tidak hanya dengan PDIP. Walau tak dipungkiri Jokowi adalah kader dan petugas partai ini. Dan tidak semua elemen di tubuh PDIP merasa aman dan nyaman dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam penentuan siapa bakal cawapres Jokowi kelak. Laliu, andai Jokowi dua periode, akankah Presiden berikutnya kader PDIP?
Banyak pertanyaan khalayak yang perlu dijawab. Agar proses demokrasi bisa berjalan seiring sejalan dengan kepentingan rakyat. Bukan sekedar permainan kotor bagi-bagi kekuasaan.