Ibu Negara di Pusaran Kekuasaan

MONITORDAY.COM - Di Filipina, sebuah titik balik terjadi. Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr. melenggang ke tampuk kekuasaan. Dinasti Marcos memang sangat cepat rebound. Tak lebih dari 5 tahun setelah people power yang menggulingkan Diktator Asia Tenggara. Gerakan yang menginspirasi Indonesia untuk melakukan reformasi itu tak kuasa menahan kekuatan politik yang dimotori mantan ibu negara Imelda Marcos.
Rakyat Filipina butuh demokrasi. Pada saat yang sama rakyat juga butuh makan. Konsolidasi demokrasi yang terseok membuat rakyat kembali berharap pada kekuasaan yang efektif. Meski hal itu berisiko pada kebebasan yang tergadai. Ketidakmampuan mengawal perubahan secara transformasional menjadi penyebab rakyat kembali melirik kejayaan dan kemakmuran di masa lalu.
Di masa kejatuhan Marcos tua, Imelda adalah simbol kemewahan keluarga istana yang abai pada kesengsaraan rakyat. Ia tak lebih dari Marie Antoinette permaisuri Louis XVI dalam sejarah Revolusi Perancis. Bedanya, Antoinette mati di ujung guillotine bersama suaminya. Menanggung kemarahan kaum revolusioner yang tercerahkan. Sementara Imelda sejenak terasing untuk kemudian kembali ke pusaran kekuasaan.
Ia memegang kembali kepercayaan pendukungnya. Ia menyiapkan anak-anaknya masuk ke panggung politik untuk merebut kembali Malacanang. Di usia lebih dari 90 tahun Imelda masih menjadi faktor penentu dalam kekuasaan Filipina. Bersekutu dengan keluarga Duterte yang kuat, kini Bongbong kembali menginjakkan kaki di pusat kekuasaan yang akan menentukan masa depan negeri itu.
Lain Imelda, lain pula Iriana. Sang ibu negara tak banyak berurusan dengan politik. Tugas negara dilakukan lebih banyak dalam senyap. Atau setidaknya minim publikasi. Iriana pun, menurut Gibran Rakabuming Raka, mulai berkemas untuk mempersiapkan diri kembali ke kampung halamannya. Ke Solo yang kini berkembang pesat menjadi kota destinasi bisnis dan wisata. Solo kini hanya sepelemparan batu dari Semarang lewat tol yang membelah perbukitan Salatiga dan Boyolali.
Iriana pernah merasakan posisi menjadi istri pengusaha meubel, istri walikota Solo, dan istri gubernur DKI. Kini ia berada di ujung masa mengemban amanah sebagai ibu negara. Joko Widodo konsisten pada niatnya untuk setia pada konstitusi. Cukup dua periode dan tak ada tawar-menawar lagi. Niat dan kesadaran yang harus didukung dan dikawal. Bukan digoreng dan diolah menjadi komoditas politik yang mengkhianati sikap-sikap kenegarawanan.
Sementara itu, penampilan Iriana yang berhijab saat mendampingi Jokowi ke Amerika Serikat menyita perhatian publik. Tak dipungkiri Jokowi dan Iriana dipersepsikan publik sebagai representasi Islam abangan dan nasionalis sekuler. Biasanya penampilan relijius tampak di masa kampanye. Kali ini hal yang sebaliknya. Hati orang siapa yang tahu, yang bisa kita tangkap adalah sikap lahirnya. Dalam prasangka baik, kita berharap Iriana konsisten menjadi teladan pada sikap relijius dengan pandangan terbuka, moderat, dan mencerahkan.