Perang Semesta Melawan Korona

Indonesia pernah menerapkan perang semesta saat melawan penjajah Belanda, yaitu ketika rakyat berada di baris terdepan berhadapan langsung dengan musuh.

Perang Semesta Melawan Korona

PANDEMI global akibat wabah virus korona betul-betul membuat semua tatanan hidup jadi limbung. Makhluk berukuran 500 mikrometer itu telah memporakporandakan ekonomi semua negara. Indonesia sudah pasti. Negeri jiran yang katanya salah satu pusat bisnis dan keuangan global ternyata juga begitu.

Tak ada lagi ekonom yang sanggup mendongakan kepalanya, dan lantang menebar rumus-rumus ekonomi yang terlalu ambisius. Semua tertunduk lesu sambil berharap prahara cepat berlalu.

Semua bermula ketika Senin (2/3/2020) silam, seorang warga negara Jepang (tak disebut identitasnya) yang bekerja di Malaysia dikabarkan positif korona. Celakanya, kejadian tersebut tak lama setelah ia berkunjung ke Indonesia.

Mendapat kabar tak sedap, Tim Kemenkes waktu itu langsung melakukan penelusuran dengan siapa WN Jepang tersebut melakukan kontak selama di Indonesia. Ternyata, orang Jepang yang terkena virus korona telah berhubungan dengan dua orang, ibu 64 tahun dan putrinya 31 tahun, mereka adalah warga Depok, Jawa Barat. Menurut pengakuan mereka, setelah berdansa dengan orang Jepang, keduanya berganti-ganti pasangan dansa di sebuah acara perayaan valentine itu.

Keesokan harinya, Perumahan tempat mereka tinggal di Sukmajaya, Depok, langsung sepi seolah tak berpenghuni. Tak ada aktivitas warga. Mereka dilarang mendekati rumah yang sudah dikasih garis polisi itu. Sempat ada beberapa anak kecil memakai masker mendekat ke rumah tersebut, namun aparat betindak cepat dan mengusir mereka.

Pasar Musi yang tak jauh dari lokasi perumahan tempat pasien 01 dan 02 tinggal juga mendadak sepi. Puluhan pedagang ayam potong di lokasi tersebut hanya bisa memandangi dagangannya, karena hingga jam 10 pagi, dagangannya masih utuh, nyaris tak ada yang melirik.

Driver ojek online atau ojol di Kota Depok adalah yang paling terdampak dari kasus ini. Ari (bukan nama sebenarnya) sudah lama menjadi ojol di Kota Depok, namun dirinya mengaku belum pernah merasakan orderan yang begitu sepi seperti pasca ditemukannya korban covid-19 di Kota Belimbing itu.

Selain tatanan yang berubah, pasar dan orderan ojol yang sepi, pandemi wabah korona juga menimbulkan ketakutan di hampir semua lapisan masyarakat. Ini wajar, namun jika tak dapat dikendalikan bisa berbalik jadi bahaya.

Suherman (bukan nama sebenarnya) adalah warga Sawangan yang tinggal 100 meter dari tempat pemakaman umum (TPU) Pasir Putih Sawangan, ia mengaku warga di sekitarnya mulai resah lantaran beberapa jenazah korban keganasan korona dimakamkan di sana.

Meski belum ada informasi yang sohih soal apakah jenazah yang dikuburkan dapat menularkan korona, namun tetap saja mereka tak bisa menyembunyikan ketakutan. Selain karena prosedur yang berbeda, juga karena lokasi mereka yang berdekatan.

Rasa takut memang emosi yang sangat manusiawi, bahkan hewani. Perasaan ini muncul setelah bagian otak bernama amigdala dalam kepala kita memberi respon. Setelah itu, kita pun reflek mencari cara untuk menghindar dan bertahan hidup. Karena rasa takut inilah, manusia seperti dalam teori evolusi belajar menghindar dari kepunahan selama ribuan tahun. Bagi yang tak kunjung mengerti dan tahu cara bertahan, maka ia pun tak luput dari kepunahan.

Dari sini kita pun mengerti, bahwa ketakutan terhadap wabah korona terjadi karena kurangnya pengetahuan. Itu sangat manusiawi, karena kita selalu merasa takut atas hal-hal yang belum kita ketahui dengan baik. Sebaliknya, kita merasa percaya diri dan berani menghadapi sesuatu yang kita kuasai dengan baik.

Dan korona memang merupakan virus baru yang belum cukup kita ketahui, dan apalagi soal vaksinnya. Tentu saja kehadirannya sangat memicu ketakutan. Tidak saja di negara kita, tapi juga di negara-negara maju yang katanya sudah bisa membuat kecerdasan buatan untuk mengatasi ketidaktahuan.

Sejatinya, ketakutan karena adanya ketidaktahuan merupakan sesuatu yang positif. Karena ia lahir dan memunculkan keinginan untuk mengatasi sumber ketakutan tersebut. Yang bahaya adalah jika ketakutan tak memunculkan keingintahuan, alih-alih melahirkan reaksi kemarahan.

Akibat buruknya, ketika rasa takut meningkat, kelas menengah dan atas yang terperangkap di rumah mereka menyerah pada insting terburuk mereka - menimbun makanan, persediaan dan obat-obatan tanpa menyayangkan jutaan orang miskin yang berdiri kelaparan dan mati.

Sebaliknya bagi kelas bawah, rasa takut yang kian menguat bisa mengarah pada kondisi yang lebih buruk. Karena ketiadaan kuasa untuk menimbun makanan, persediaan obat-obatan, termasuk jaminan kesehatan, mereka dihadapkan pada dua pilihan menyerah pada keadaan (punah) atau berontak (rusuh) seperti di India. Inilah salah satu alasan kenapa pemerintah enggan menerapkan kebijakan lockdown, meski didesak pihak oposisi.

Semua negara tak terkecuali Indonesia memang tengah diuji, seberapa mampu dia mengatasi pandemi dan peduli terhadap nasib penduduk bumi. Korona memang tak mengenal batas-batas negeri, usia atau status sosial. Semua berpeluang terinfeksi.

Negara-negara dengan struktur sosial yang baik, masyarakat yang lebih beradab (civilize), ekonomi yang mapan, dan teknologi yang maju, mungkin tak terlalu mengalami kesulitan dan ketakutan yang berarti ketika menghadapi pandemi korona. Tapi bagi negara-negara seperti Italia, spanyol dan Indonesia, tentu ini menjadi sangat beresiko, seperti disebut Deep Knowledge Group (DKG).

Penanganan Covid-19 di negeri kita memang rumit, serumit menghilangkan suara berisik di kanal-kanal digital. Ada banyak faktor dan itu merata di hampir semua negara di dunia, bahkan di Amerika sekalipun. Faktor itu tak lain karena pelayanan kesehatan yang kurang maksimal. Meski di era Presiden Obama sistem itu dirombak secara total dengan hadirnya Obamacare, namun seperti BPJS di negeri ini, dia menuai benci sekaligus juga rindu.

Disinilah pentingnya melihat pandemi korona sebagai musuh bersama, dan kita sikapi dengan Perlawanan Rakyat Semesta (Permesta). Ini tidak bisa tidak, karena korona sudah membabi buta, aspirasi berubah jadi provokasi, sementara upaya revolusioner tak kunjung ada. Para anggota dewan yang terhormat sempat buka suara, tapu bukan untuk urun rembuk melainkan meminta test korona. Dan yang sangat disayangkan, tokoh agama kita juga masih beda suara.

Perlawanan rakyat semesta adalah kesadaran, tekad, sikap dan pandangan seluruh rakyat Indonesia untuk menangkal, mencegah, menggagalkan dan menumpas setiap ancaman yang membahayakan negara dengan mendayagunakan segenap sumber daya nasional dan prasarana nasional.

Kata Prof Wiku Adisasmito, ini serupa dengan one health. Mengintegrasikan berbagai sektor untuk menghadapi masalah. “Musuh yang ini tidak bisa dihadapi cuma dengan tentara dan polisi. Harus dihadapi oleh seluruh komponen bangsa. Ini perang semesta.”

Untuk menghadapi musuh yang tak terlihat, maka kita harus satu suara. Jangan sampai karena berbeda cara pandang, atau akibat sisa-sisa pertarungan politik, lalu kita selalu ingin berbeda. Seolah tak peduli dengan situasi yang ada.

Meski memiliki sistem pelayanan kesehatan yang belum maksimal, namun sejatinya negara kita memiliki potensi dan energi yang cukup untuk menghadapi korona. Sebagai negara dengan iklim tropis suhu kita selalu hangat karena disinari matahari sepanjang tahun. Tanaman herbal yang punya khasiat luar biasa juga tumbuh subur di pekarangan kita. Sumber air yang melimpah dan tak berhenti mengalir adalah modal utama. Belum lagi keberadaan kampus dan rumah sakit swasta seperti Muhammadiyah yang menyatakan siap bergerak melawan korona.

Dalam situasi seperti sekarang, harusnya sudah tak ada lagi yang berpikir soal siapa yang berkuasa. Karena bila wabah ini tak segera kita bereskan, maka yang ada kita semua malah binasa. Terpenjara dalam lorong gelap yang sunyi sepi.

Indonesia pernah menerapkan perang semesta saat melawan penjajah Belanda, yaitu ketika rakyat berada di baris terdepan berhadapan langsung dengan musuh. Karena keterbatasan persenjataan, pasukan bersenjata bergerak secara gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung, mengamati pergerakan lawan dan mencari titik lemah mereka, sambil sesekali turun gunung untuk melakukan serangan atau mengambil perbekalan.

Pun begitu untuk melawan korona. Rakyat sebagai pilar terpenting harus berada di garis terdepan menjaga pertahanan utama. Caranya adalah menyiapkan atau tepatnya memanfaatkan segara sumber daya yang ada; pangan, imunitas alami seperti matahari dan tanaman herbal, dan tentu saja tidak lupa kekuatan doa, agar semesta betul-betul mendukung (mestakung).

Kesembuhan Purwanti, pasien positif korona di Jawa Tengah, menjadi pelajaran berharga. Ia berhasil sembuh berkat keyakinan, doa dan rajin mengkonsumsi jamu (empon-empon). Inilah rumus kesembuhan paling sederhana seperti kata Ibnu Sina. Melakukan karantina, terus berusaha dan tak lupa berdoa. “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan,” kata Ibnu Sina, tokoh ilmu kedokteran dan pengobatan dunia.

Begitulah semestinya korona kita hadapi, cukup sederhana namun membutuhkan kebersamaan dan kerja yang nyata. Apalagi dalam waktu dekat kita akan menjalankan puasa, tentu saja ini akan jadi peperangan yang luar biasa. [ ]