Prabowo dan Koalisi yang Tak Kunjung Rampung

Satu dekade terakhir, perjalanan demokrasi seolah berputar-putar dalam lingkaran yang sama.

Prabowo dan Koalisi yang Tak Kunjung Rampung
Ilustrasi foto/Net

PERTEMUAN Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono kembali gagal dilaksanakan. Entah apa yang jadi soal. Batas pendaftaran capres-cawapres sudah di depan mata, tapi elite partai-partai oposisi belum juga rampung dan bersepakat untuk berkoalisi. Tampak ada kesuliitan dari para elite parpol untuk memunculkan tokoh pemimpin baru.

Satu dekade terakhir, perjalanan demokrasi seolah berputar-putar dalam lingkaran yang sama, dus juga menyajikan aroma kontestasi diantara tokoh-tokoh yang sama. Baru Jokowi sajalah yang muncul dari kerumunan rakyat biasa, tampil ke jagat politik nasional lalu menyingkirkan kebekuaan dari segala apa yang bernuansa serba normal, serta biasa-biasa saja. Jokowi cukup punya nyali untuk kemudian mencungkil mentalitas ‘nonsense’ yang berkomplot demi kejayaan dinasti politik tertentu.

Tiga tahun berlalu, perubahan terjadi disana sini. Ada secercah harap, namun perlahan mulai samar-samar. Meminjam istilahnya Renald Kasali, sebagian besar orang memang sadar bila disrupsi tengah terjadi. Namun seringkali perubahannya tidak terasa di awal, melainkan sudah terlanjur terlambat untuk disadari. Dalam bukunya “Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber” dikatakan, bahwa keadaan yang serba cepat membuat manusia terlena.

Di era Jokowi, kemudahan yang kian lama terasa, tanpa disadari menjadi sebuah sinyal lembut. Hingga akhirnya ketika perubahan itu betul-betul terjadi, kita pun terlambat mengantisipasinya. Ada kekuatan-kekuatan gelap, yang hendak membangkitkan kedigdayaan dinasti tertentu.

Disinilah pentingnya, ada sumbang saran bagi para elite politik di negeri ini, termasuk Jokowi dan Prabowo Subianto sendiri. Karena seorang pemimpin itu sejatinya adalah; Ing ngarso sung tuladha (di depan sebagai contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan), demikian kata bijak Ki Hadjar Dewantara yang menjadi landasan filosofis dalam karakteristik kepemimpinan ideal. Dengan kata lain, pemimpin yang ideal adalah seseorang yang memiliki karakter kuat, punya visi, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera rakyatnya.

Betul bahwa ada dua dimensi utama demokrasi seperti dikatakan Robert Dahl, yaitu kompetisi yang bebas diantara para kandidat (equality), dan partisipasi mereka yang telah dewasa memiliki hak politik (freedom). Dalam konteks ini, maka siapa pun berhak maju dalam kontestasi demokrasi, termasuk dalam Pilpres 2019, baik Jokowi maupun Prabowo. Hanya saja perlu juga diingat, bahwa ada lompatan nilai dan perubahan yang semestinya telah kita raih saat ini, namun belum juga teraih akibat dari lingkaran kontestasi tadi. Dalam istilah sekarang, lompatan dan perubahan nilai ini hanya mungkin diraih oleh para pemimpin yang lahir dari generasi zaman now.

Lihatlah bagaimana negara-negara yang memiliki start perubahan yang kurang lebih sama dengan Indonesia, saat ini justeru punya dua tiga langkah lebih jauh dibandingkan Indonesia, seperti China, India, atau bahkan Vietnam. Terutama China, saat ini negeri Tirai Bambu ini menjelma menjadi negara denga perekonomian terkuat di dunia. Kuncinya bila mengutip pendapatnya Fared Zakaria, adalah ‘kepemimpinan’ dengan visi yang jelas dan jauh ke depan.

Mestinya, ada kemudahan dan kecepatan dalam menentukan arah politik bangsa. Karena tantangan kita ke depan bukan cuma soal bagaimana menyajikan proses elektoral secara sengit ansich, namun juga bagaimana menentukan siasat ekonomi, sains dan kebudayaan untuk menciptakan peradaban bangsa yang setara dengan bangsa-bangsa lainnya.