Telaah Komunikasi Politik Istana dalam Kasus Penyambutan HRS

Setelah berada di Arab Saudi sekian lama Muhammad Rizieq Shihab yang akrab disapa publik sebagai HRS kembali ke Tanah Air dengan segenap kontroversi atas kasusnya. Versi Pemerintah dan versi kubu HRS seringkali berseberangan terkait status izin tinggalnya di Saudi, alasan baru bisa pulang ke Indonesia, dan berbagai diskursus terkait tinjauan legal dan politik atas keberadaannya di Negeri Raja Salman itu.

Telaah Komunikasi Politik Istana dalam Kasus Penyambutan HRS
Lelly Ariannie/ wikipedia

MONDAYREVIEW.COM - Setelah berada di Arab Saudi sekian lama Muhammad Rizieq Shihab yang akrab disapa publik sebagai HRS kembali ke Tanah Air dengan segenap kontroversi atas kasusnya. Versi Pemerintah dan versi kubu HRS seringkali berseberangan terkait status izin tinggalnya di Saudi, alasan baru bisa pulang ke Indonesia, dan berbagai diskursus terkait tinjauan legal dan politik atas keberadaannya di Negeri Raja Salman itu.

Diantara silang-sengkarut kabar tentang HRS yang ingin diketahui publik adalah belum adanya konfirmasi benar tidaknya klaim ada perjanjian atau kesepakatan antara HRS dengan BIN. Dalam pengakuan HRS saat dirinya hendak pulang dihadang oleh aparat intelejen Saudi. Ketika HRS menunjukkan bukti adanya kesepakatan antara pihaknya dengan BIN maka aparat intelejen Saudi kaget dan kemudian mempersilahkan HRS untuk kembali ke Tanah Air.

Publik berhak mengetahui apa yang terjadi di panggung belakang peristiwa tersebut. Bagaimanapun HRS telah mengungkapnya kepada media dan tersebar luas. Tentu publik berhak mendapatkan informasi yang jelas dan memadai tentang substansi kesepakatan tersebut jika memang ada. Hal itu diungkapkan pakara komunikasi politik Lely Arrianie dalam perbincangan virtual bersama Redaksi Monday Media Group (23/11/2020).

Lebih dari itu pihak Pemerintah atau Istana semestinya satu suara dalam bersikap dan memberikan pernyataan terkait kasus, status, dan kegiatan terkait kepulangan dan hajatan HRS. Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengklaim sedikitnya pendukung HRS bukan tidak mungkin justru menjadi pemicu sebagian kalangan ummat Islam di luar Front Pembela Islam untuk unjuk kekuatan. HRS dianggap mewakili kubu oposisi yang kian rapuh sejak ditinggalkan kubu Prabowo Subianto yang bergabung dengan Pemerintah.

Tidak kompaknya Istana dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga semakin terlihat telanjang di depan mata batin rakyat yang terlanjur terbelah oleh politik identitas. Kelemahan masing-masing pihak dalam bersikap atas kerumunan sungguh tak elok di masa pandemi yang masih meradang. Anies akhirnya memberikan denda Rp 50 juta. Sementara dua Kapolda harus digeser karena dianggap tak becus mengurus kerumunan pendukung HRS.

TNI juga kena getahnya. Setelah video viral satu anggotanya yang terindikasi tidak netral dalam penyambutan HRS maka sanksi pun diberikan. Publik pun belum bisa memastikan apakah oknum TNI tersebut memang pendukung ideologis HRS, terbawa suasana massa, atau beradaptasi dengan psikologi kerumunan.

Yang jelas Pangdam Jaya Dudung Abdurrahman kemudian pasang badan saat anggotanya membantu polisi dan polisi pamong praja menurunkan baliho-baliho penyambutan HRS yang bertebaran. Dudung pun mendapatkan restu dari Panglima TNI. Lagi-lagi publik tak bisa melepaskan langkah tersebut sebagai kebijakan istana. Tentu tak ada salahnya bila publik mendapatkan ‘suara istana’ yang jernih dan jelas terkait hal ini.

Di mata rakyat, Presiden Joko Widodo adalah figur yang sederhana merakyat dan lugas. Setiap sikap dan pernyataan Jokowi seharusnya mampu diartikulasikan dan diamplifikasi oleh Juru Bicara dan para pembantu Presiden tanpa distorsi. Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka bukan tidak mungkin pesan penting tersebut tidak sampai dan menjadi bulan-bulanan di arena wacana publik era media sosial yang terbuka luas sekaligus liar bagai rimba raya informasi.       

Tak dapat dipungkiri bahwa istana kerepotan dalam menghadapi politik identitas. Ada perbedaan antara identitas politik dan politik identitas. Identitas politik absah bahkan diperlukan, politik identitas justru melemahkan konsolidasi demokrasi. Politik identitas sudah digunakan pula pada masa kampanye SBY tahun 2014. Tersirat dalam penggunakan lagu Sajadah Panjang dan munculnya dukungan kelompok Majelis Taklim tertentu pada SBY.

Selebihnya publik juga harus mengenali panggung tengah politik. Istilah panggung tengah ini adalah temuan Lely Arrianie setelah meriset dan mewawancarai tak kurang dari 27 narasumber dari kalangan politisi, jurnalis, dan akademisi. Panggung depan politik adalah sidang DPR, sidang kabinet, dan sejenisnya. Panggung belakang politik adalah rapat internal partai, rapat fraksi, lobi-lobi dan sejenisnya. Maka panggung tengah politik adalah kehadiran politisi di acara hajatan dan sejenisnya.

Di panggung tengah itulah Gubernur Anies hadir dalam acara silaturahmi dan hajatan pernikahan putri HRS. Sebagaimana para anggota DPR juga bangga menggunakan pin ‘warga Senayan’ saat menghadiri berbagai hajatan dan kegiatan warga. Tak terkecuali tetap berkampanye saat hadir dan menyapa korban bencana.  

Komunikasi politik di panggung tengah yang dibangun oleh Anies memberi kesan upaya mempertahankan hubungan patron-klien dalam politik DKI yang diniali akan berlanjut hingga pemilu 2024 kelak. Publik berharap HRS seperti halnya para pemuka agama yang memimpin ormas agar menjadi pelopor dalam perjuangan melawan kerumunan saat pandemi masih menjadi-jadi.

Toh, tidak sulit untuk mengatakan pada para pengikutnya untuk tetap berada di rumah, menjaga jaga, dan menjauhi kerumunan. Hal yang sama tentu juga secara adil harus diperlihatkan dalam ajang kontestasi pilkada.