Peluang dan Tantangan Redenominasi Rupiah
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang dengan cara mengubah nilai nominalnya tanpa menurunkan nilainya. Misalnya uang nominal 500.000 dihilangkan tiga angka nolnya menjadi 500.

MONDAYREVIEW.COM – Bagi yang sempat mengenyam pendidikan tinggi jurusan ilmu ekonomi, istilah redenominasi tidaklah asing. Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang dengan cara mengubah nilai nominalnya tanpa menurunkan nilainya. Misalnya uang nominal 500.000 dihilangkan tiga angka nolnya menjadi 500. Walaupun nilai nominalnya berubah, namun nilai tukar uang tersebut tetap sama. Mata uang di Indonesia dianggap mempunyai nominal yang sangat besar, sehingga perlu dilakukan redenominasi.
Ada cerita menarik dalam sejarah perekonomian Indonesia yakni tentang gunting Syafruddin. Syafruddin Prawiranegara adalah perdana menteri keuangan dalam Kabinet Hatta II pada tahun 1950. Namanya diabadikan menjadi nama salah satu gedung di komplek Bank Indonesia. Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter dengan cara menggunting uang pecahan Rp5 ke atas menjadi dua.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi.
Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Syafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk—utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Syafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.
Apa yang dilakukan Syafruddin dalam ilmu ekonomi disebut dengan sanering atau devaluasi. Sanering adalah penurunan nilai mata uang. Sementara redenominasi hanya penyederhanaan nilainya saja. Artinya Indonesia pernah melakukan kebijakan moneter terhadap mata uangnya. Wacana redenominasi bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Tinggal kita perlu mengukur peluang dan tantangan jika kebijakan ini direalisasikan.
Upaya redenominasi sudah dilakukan oleh Kemenkeu dengan mengajukan RUU Redenominasi. Sayangnya sampai hari ini DPR RI belum mengesahkan RUU tersebut, bahkan tidak memasukannya ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Karena DPR RI yang tak kunjung mengabulkan permohonan redenominasi, maka Kemenkeu berinisiatif membuat Permenkeu guna mengesahkan kebijakan ini.
Ada sejumlah manfaat dilakukannya redenominasi. Diantaranya mempermudah perhitungan dalam praktik-praktik akuntansi seperti pembukuan hingga laporan keuangan sehingga lebih mudah dibaca. Lalu, redenominasi juga terkait dengan tingkat kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Nilai tukar mata uang rupiah saat ini dinilai terlalu mahal, meski sebenarnya jumlah nominal pada uang tidak selalu mencerminkan kekuatan mata uang tersebut.
Meski demikian, langkah redenominasi juga memiliki sejumlah risiko. Ada persepsi dan kekhawatiran di masyarakat bahwa redenominasi rupiah sama dengan sanering. Risiko lainnya terkait potensi kenaikan harga karena pembulatan harga ke atas secara berlebihan. Ini akibat dari pengusaha dan pedagang yang menaikkan harga semaunya. Untuk mengatasi risiko saat pelaksanaannya, diperlukan landasan hukum yang kuat dan juga dukungan dari masyarakat. Maka itu harus ada sosialisasi dan edukasi secara aktif, intensif, dan berkesinambungan kepada masyarakat tentang apa itu redenominasi.