PP Muhammadiyah Dukung Cegah Kenaikan Prevalensi Anak Merokok

PP Muhammadiyah konsisten mendukung pencegahan kenaikan prevalensi anak merokok

PP Muhammadiyah Dukung Cegah Kenaikan Prevalensi Anak Merokok
Dari kiri: Komisioner KPAI bidang Kesehatan dan NAPZA, Dr. Sitti Hikmawaty , S.ST, MPd bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir MSi (dok: Prof Suyatno)

MONITORDAY.COM-Menyerukan ajakan berhenti merokok di negeri ini ibarat berteriak di padang pasir nan luas tak berbatas. Sekeras apapun, sampai suara serak dan urat leher meregang, tidak ada orang mengabaikannya. Sebabnya jelas, banyak pihak sangat berkepentingan dengan rokok; lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, penyangga APBN, sampai penjamin keberlangsungan kompetisi olah raga yang secara nalar mestinya berlawanan.  

Keprihatinan akan bahaya rokok mencuat pada diskusi pencegahan kenaikan prevalensi anak merokok dan pada upaya tobacco control saat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Kesehatan dan NAPZA, Dr. Sitti Hikmawaty , S.ST, MPd menyambangi Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir MSi, bersama Bendahara Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Suyatno M.Pd yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Bandung (UMBandung) di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Senin (10/2/2020)

Haedar Nashir menegaskan, PP Muhammadiyah mendukung pencegahan kenaikan prevalensi anak merokok. Ia mengaku prihatin Indonesia saat ini menempati posisi kelima tertinggi dalam konsumsi tembakau sejak tahun 2004, dan persentase perokok dewasanya paling tinggi di Asia Tenggara. Ia mengutip data Dr TB Rachmat Sentika, SP.A, Prevalensi perokok dewasa mencapai 34,40 % pada tahun 2007, sedangkan perokok usia 13-15 tahun mencapai 24,5 %.Angka ini pun terus mengalami peningkatan.

Lanjut Haedar Nashir, Survey Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukan peningkatan jumlah perokok terjadi pada usia di bawah usia 19 tahun, dari 69 % pada tahun 2001 menjadi 78 % pada tahun 2004. Trend usia inisiasi merokok menjadi semakin dini, yakni usia 5-9 tahun. 

"Perokok yang mulai merokok pada usia 5-9 tahun mengalami peningkatan yang paling signifikan, dari 0,4 % pada tahun 2001 menjadi 1,8 % pada tahun 2004, ini sudah tahun 2020. Peningkatannya tentu tinggi sekali" ungkapnya

Bendum PP Muhammadiyah juga Rektor UMBandung bersama Komisioner KPAI bidang Kesehatan dan NAPZA (dok: sity hikmawaty)

Sementara itu, Bendum PP Muhammadiyah juga Rektor UMBandung juga menilai,  ada stigma yang berkembang di masyarakat, mengatakan bahwa merokok dapat menghilangkan stres. Padahal, itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Alih-alih menghilangkan stres, merokok justru membunuh secara perlahan penggunanya dan asapnya dapat menyakiti orang-orang yang bahkan tidak merokok.

"stigma yang salah sebaiknya tidak dipertahankan karena Merokok tidak menghilangkan stress, justru membunuh jutaan orang dewasa di seluruh dunia, tahun 2030 diprediksi angka kematian karena merokok ini lebih cepat-suatu jumlah yang lebih besar dari penyebab tunggal kematian lainnya. " singgungnya 

Temuan dari Kajian Badan Litbangkes Tahun 2015, ujar Suyatno, menunjukkan Indonesia menyumbang lebih dari 230.000 kematian akibat konsumsi produk tembakau setiap tahunnya. Globocan 2018 menyatakan, dari total kematian akibat kanker di Indonesia, Kanker paru menempati urutan pertama penyebab kematian yaitu sebesar 12,6%. 

Lebih lanjut kata Suyatno, agresifitas iklan, promosi dan kegiatan sponsor oleh industri rokok telah berkontribusi meningkatkan konsumsi tembakau di Indonesia, terutama konsumsi tembakau oleh anak. Hal ini karena mayoritas target pasar industri rokok adalah anak muda, sehingga seluruh bentuk pemasaran, ditujukan untuk menjerat anak-anak untuk menjadi perokok pemula. 

Belum lagi dengan pembagian langsung produk rokok dalam suatu event, menjadikan anak-anak dimanjakan untuk memperoleh pengalaman baru. Merokok.

Ia mencontohkan, iklan-iklan rokok juga dibuat provokatif, kreatif, dan selalu  di up date. Kalimat-kalimat jitu yang mampu menerkam perasaan remaja selalu berhasil diracunkan seperti; “Jangan Basa Basi”, “Mana Xpresimu”, “U are U”, “Pria Punya Selera”,  “Nggak Ada Lu Nggak Ramai”, “Kapan Kawin?”, “Siang Dipendam Malam Balas Dendam”, “Buktikan Merahmu”, dan sebagainya.

Suyatno lantas bertanya "Akankah kita diam saja dengan alasan rokok adalah sumber pendapatan negara?. Dengan kenyataan tersebut pemerintah tidak boleh tinggal diam seakan tidak mau tahu. 

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan; "Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan”.

Dengan membiarkan peredaran rokok tidak terkendali berarti pemerintah tidak menjalankan amanat undang-undang tersebut. Dengan kata lain, pemerintah tidak melidungi anak-anak yang jumlahnya 35 persen dari seluruh penduduk Indonesia, tetapi 100 persen pemilik masa depan.

Untuk itu, saatnya pemerintah mengambil tindakan nyata dengan memberikan perlindungan yang memadai bagi anak-anak dari bahaya merokok. Uang memang penting untuk membiayai pembangunan negeri, tetapi kesehatan anak-anak jauh lebih
penting karena mereka yang akan menjamin kelangsungan keberadaan negeri ini. 

"Kita bisa memastikan bahwa ketahanan nasional hanya akan tercapai bila ada ketahanan masyarakat. Ketahanan masyarakat akan tercapai bila ada ketahanan keluarga. Dan ketahanan keluarga akan bisa diwujudkan manakala anggota keluarga, anak-anak dalam kondisi sehat jiwa dan raga, tidak hidup dalam ketergantungan nikotin, alkohol, narkoba, maupun zat-zat adiktif lain" pungkasnya

Demi menyelamatkan anak dari bahaya rokok, maka pemerintah wajib segera melakukan aksi konkret. Tujuh Keputusan Lokakarya Kajian Kebijakan Penanggulangan Masalah Tembakau, yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan, 12 Desember 2008 silam mesti terus disuarakan. 

Pertama, segera meratifikasi konvensi pengendalian tembakau (FCTC).  Tentu butuh keberanian karena industri rokok dengan kekuatan uangnya pasti akan melakukan penentangan. Dalam FCTC diatur secara tegas kadar nikotin pada rokok dan tata cara beriklan yang lebih beradab, bila perlu larang seluruh bentuk iklan di manapun di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Kedua, Bebaskan sama sekali  negeri ini dari iklan rokok di ruang publik mana pun. Di singapura, di Malayisa, di Thailand, di Jepang, dan berbagai negara beradab lainnya kita tidak menemukan billboard iklan rokok, juga di televisi. Tanpa iklan sekali pun, rokok tetap akan dikonsumsi massal. Seperti halnya narkoba, yang tanpa iklanpun  produksi dan konsumsinya terus meningkat dari hari ke hari.

Ketiga, Perlu segera diintrodusir undang-undang perlindungan anak dari bahaya rokok. Setidaknya, masukkan ketentuan-ketentuan bahaya rokok bagi anak dalam revisi Undang-Undang Kesehatan yang sedang dipersiapkan. Dalam UU ini harus memuat ketentuan; larangan anak merokok, larangan memperjualbelikan rokok kepada anak; larangan mempekerjakan anak di pabrik rokok, larangan ibu hamil merokok, dan larangan merokok di depan ibu hamil.

Keempat, agar barang rokok tidak mudah diperoleh, maka cukai rokok harus dinaikkan setinggi-tingginya, tetapi produksi rokok harus ditekan serendah-rendahnya.

Kelima, buat ketentuan yang melarang pabrik rokok menjadi sponsor dalam kegiatan olah raga, seni, maupun kegiatan keilmuan. Kegiatan sponsorhip pada kegiatan olah raga, seni dan kelilmuan akan menjadi model legitimasi keberadaan mereka di tengah masyarakat, bahkan boleh jadi akan dijadikan pahlawan karena mengangkat prestasi olah raga, seni, dan keilmuan.

Keenam, perluas kawasan bebas asap rokok, tidak hanya di ibu kota tetapi juga di daerah-daerah. Kawasan Sekolah, tempat ibadah, fasilitas umum harus sungguh-sungguh steril dari asap rokok.

Ketujuh, Para tokoh agama, ulama, kiai, harus bersepakat bulat bahwa merokok adalah haram karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Para tokoh agama, tokoh masyarakat tidak lagi memberi contoh jelek dengan merokok di depan umum yang dilihat dan ditiru oleh anak-anak.