Potret Buram Nelayan di Masa Pandemi Covid-19
Nelayan dan pembudidaya ikan memiliki peran penting dalam menopang kedaulatan pangan nasional. Tapi nasibnya di masa pandemi sungguh memprihatinkan.

NELAYAN dan pembudidaya ikan memiliki peran penting dan menjadi andalan dalam menopang kedaulatan pangan nasional. Di Indonesia, produk perikanan menyediakan 54 persen dari seluruh protein hewani yang dikonsumsi masyarakat. Kontribusinya dalam penciptaan lapangan pekerjaan juga sangat penting.
Pelaku usaha perikanan, langsung maupun tidak langsung, jumlahnya sangat besar. Sektor perikanan tangkap diperkirakan menyediakan lapangan kerja langsung lebih dari enam juta orang dan lapangan kerja tidak langsung bagi jutaan lainnya. 97 persen dari total jumlah nelayan di Indonesia, jika dilihat dari ukuran kapal < 10 GT merupakan nelayan skala kecil.
Meskipun peranannya dalam ekonomi negara yang cukup besar, tidaklah demikian dengan kondisi kehidupan nelayan atau keluarganya. 2,7 juta nelayan di Indonesia turut menyumbang 25 persen angka kemiskinan nasional pada 2017, karena mayoritasnya hidup di ambang batas garis kemiskinan.
Data lain juga menyebutkan sekitar 53 persen keluarga di wilayah pesisir hidup di bawah garis kemiskinan. Gambaran ini tentu menjadi karakteristik spesifik kerentanan nelayan dan pembudidaya dalam konteks sosial-ekonomi, khususnya dalam menghadapi Covid-19 saat ini.
Sayangnya, meluasnya penyebaran Covid-19 belum diiringi kesadaran dan pengetahuan nelayan dan masyarakat pesisir mengenai dampak yang akan ditimbulkan. Penyebar-luasan informasi dan edukasi dari pemerintah juga dirasa belum optimal di lapangan.
Banyak warga yang masih bingung dan tidak memahami maksud dari Kebijakan pemerintah, misalnya pelaksanaan physical distancing atau pelarangan melaut di pagi atau siang hari yang menimbulkan kebingungan para nelayan.
Dampak Covid-19
Survey Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebutkan bahwa penyebaran Covid-19 telah berdampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi nelayan maupun pembudidaya ikan. Mayoritas daerah yang disurvey melaporkan terjadi penurunan harga ikan yang cukup signifikan, terutama jenis ikan tertentu yang menjadi komoditas ekspor.
Penjualan hasil tangkapan menjadi kendala besar saat ini, dikarenakan banyak pengepul ikan tidak melayani atau setidaknya membatasi pembelian ikan dari nelayan/pembudidaya. Kondisi ini menyebabkan banyak nelayan dan pembudiaya yang kewalahan menjual hasil tangkapan, apalagi negara tujuan ekspor perikanan Indonesia juga sedang “menutup diri”, membatasi transaksi perdagangan internasionalnya dengan negara lain.
Kondisi ini terjadi karena menurunnya daya beli masyarakat sehingga pasar atau Tempat Pelelangan Ikan menjadi sepi, salah satunya akibat penerapan kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 yang mulai disosialisaikan pemerintah daerah.
Jika dibiarkan berkepanjangan, kondisi ini berpotensi semakin memburuk kehidupan keluarga nelayan dan pembudidaya. Pendapatan mereka semakin menurun karena kesulitan mencari pembeli hasil tangkapan dan panen mereka. Jikapun ada yang membeli, harga yang ditawarkan sangat murah, tidak sebanding dengan modal budidaya maupun modal melaut.
Di sisi lain, nelayan juga mengeluhkan biaya operasional seperti harga BBM juga masih langka dan harganya mahal di beberapa daerah. Hal ini menyulitkan nelayan untuk pergi menangkap ikan atau semakin mengurangi pendapatan nelayan. Selain itu, mereka membutuhkan biaya untuk hidup seperti membeli kebutuhan pangan yang dilaporkan harganya merangkak naik di beberapa lokasi.
Dibutuhkan biaya tambahan akibat adanya pandemik Covid-19 ini, seperti membeli desinfektan dan alat perlindungan diri untuk mencegah penularan virus. Artinya, biaya operasional melaut selama masa pandemi relatif meningkat, sementara penghasilan nelayan mengalami penurunan.
Dampak Covid-19 juga terasa bagi pembudidaya. Sebagaimana dialami oleh pembudiaya udang dan ikan di Tulang Bawang-Lampung, Indramayu-Jawa Barat, Gresik-Jawa Timur, dan Lombok Timur-Nusa Tenggara Barat. Mereka kesulitan untuk mencari benih dan sarana produksi pembudidaya seperti pakan dan obat-obatan.
Berkurangnya permintaan konsumen baik skala lokal maupun manca negara mengakibatkan para pengepul (seller) membeli ikan dengan separuh harga normal atau bahkan menghentikan pembelian ikan. Adanya social distancing dan pembatasan wilayah atau Pembatasan Social Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di beberapa daerah di Indonesia membuat sektor perhotelan dan kuliner mengalami penurunan, sehingga permintaan akan ikan-ikan budidaya pun berkurang.
Kebutuhan dalam sarana produksi juga menjadi permasalahan. Harga pakan dan obat-obatan, terutama yang mengandung bahan impor juga ikut naik. Untuk mencegah membengkaknya biaya produksi, pembudidaya melakukan panen lebih awal. Hal ini terjadi pada pembudidaya lobster di Lombok Timur-Nusa Tenggara Barat dan Gresik-Jawa Timur. Pembudidaya ikan tambak seperti bandeng dipanen secara besar-besaran dan dijual dengan harga sangat murah demi mencegah kerugian yang lebih besar.
Lain halnya dengan pembudidaya tambak ikan bandeng di Indramayu-Jawa Barat. Pembudidaya memanen tambak mereka secara berkala atau bertahap. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan pembelian ikan oleh pengepul, sehingga untuk tetap mempertahankan produksi, petambak memanen sebagian ikan mereka dan menjadikannya sebagai modal untuk membeli pakan bagi sebagian ikan yang tersisa.
Bertahan di masa pandemi
Mengatasi situasi ini, beragam cara dilakukan nelayan dan pembudidaya untuk beradaptasi dan bertahan di tengah situasi krisis yang dihadapi. Nelayan atau pembudidaya yang masih memiliki tabungan, untuk berjaga bila ada kebutuhan mendesak seperti biaya pendidikan atau kesehatan, mulai menarik tabungan untuk memenuhi kebutuhan harian atau modal untuk melaut. Tetapi malang bagi yang tidak memiliki tabungan, mereka harus berutang kepada tetangga, juragan, pengepul ataupun pihak lain yang menawarkan bantuan. Fenomena ini dilaporkan oleh pengurus koperasi nelayan di Kota Surabaya, Jawa Timur dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Lain lagi cara nelayan di Kabupaten Maumere, Nusa Tenggara Timur. Mengatasi harga kebutuhan pokok yang naik, mereka menyegerakan panen jagung untuk menjaga ketahanan pangan keluarga. Sementara yang lainnya, mencoba alih profesi menjadi buruh harian atau pekerjaan yang bisa menghasilkan pendapatan sehari-hari.
Nelayan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat melakukan barter demi memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Kesulitan ekonomi di beberapa daerah membuat nelayan memilih untuk tidak melaut lagi, dikarenakan tidak memiliki modal. Sebagaian besar dari mereka menjadi pengangguran dan berdiam diri di rumah karena adanyanya kebijakan physical distancing.
Berbeda ketika masa paceklik atau angin kencang, beberapa dari mereka nekat tetap melaut dengan resiko kematian atau beralih profesi menjadi buruh/kuli bagunan di daerah sekitar. Hal tersebut kerupakan ikhtiar nelayan agar tetap mendapatkan penghasilan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Banyak harapan agar pemerintah segera turun tangan. Sejumlah langkah dan kebijakan memang sedang dikerjakan, termasuk yang baru disepakati adalah kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan dua BUMN Perikanan (PT Perikanan Nusantara dan PT Perikanan Indonesia). Kedua perusahaan BUMN ini mendapatkan fasilitas pinjaman masing-masing sebesar Rp 30 milyar dari Badan Layanan Usaha Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan yang berada di bawah KKP untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya.
Kita berharap, fasilitas ini akan digunakan oleh BUMN untuk menyerap ikan langsung dari nelayan dan pembudidaya kecil. Langkah ini jika dilakukan secara terukur dan tepat, tentu akan sangat berdampak positif bagi kelangsungan hidup para keluarga nelayan dan pembudidaya di seluruh Indonesia.