Politik dan Etika Kepedulian Jokowi

Politik mesti mengakomodir suara kaum tak bersuara.

Politik dan Etika Kepedulian Jokowi
Foto: Biro Pers Setpres

MINGGU, 2 September 2018. Saat mata seluruh rakyat Indonesia tertuju ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) untuk menyaksikan acara penutupan Asian Games 2018, Presiden Jokowi malah asyik bercengkrama dengan kurang lebih 200 anak-anak untuk menghibur dan sejenak melupakan bencana gempa yang mereka alami.

“Coba satu orang maju,” kata Jokowi yang langsung disambut unjuk jari anak-anak di pengungsian. Habi dan Izna yang masing-masing duduk di kelas 5 dan 6 SD maju ke hadapan Presiden. Keduanya kemudian diberi pertanyaan seputar penjumlahan dan perkalian. Baik Habi maupun Izna pun sukses menjawabnya. Presiden lantas memberikan hadiah sebuah tas sekolah untuk mereka.

Politik dan kepemimpinan memang semestinya tak sekadar soal kekuasaan, kepentingan, dan konflik. Lebih dari itu, politik juga tentang kepedulian. Peduli terhadap kondisi sosial masyarakat, bukan hanya simpati dan empati. Itulah kiranya yang tersirat dari apa yang dilakukan Jokowi. Jika ia mau, tentu bisa saja Jokowi memanfaatkan acara penutupan Asian Games untuk meningatkan elektabilitasnya. Namun Jokowi tidak begitu.

Jokowi sepertinya paham betul, bila politik itu merupakan kepala dari segala urusan (ro’sul umur). Karena sifatnya yang melibatkan kepentingan orang banyak. Itu pula lah yang membuat Ibnu Taimiyah mengatakan dalam fiqh siyasah syar’iyah-nya, bahwa wilayah kekuasaan manusia (wilayatu amri nas) adalah kewajiban agama yang paling agung (a’dzomu wajibatu ad-din).

Indonesia membutuhkan politisi yang bisa tampil sebagai ‘masyarakat alternatif’ atau semacam advocates diaboli. Mereka harus menjadi penggagas politik kemanusiaan dan menjadi kelompok yang secara kritis menggonggong berbagai kekhilafan sosial.

Politik mesti mengakomodir suara kaum tak bersuara. Politik tak boleh hanya untuk dinikmati segelintir orang, tetapi mesti memberi pengaruh bagi pemerdekaan rakyat dari berbagai bentuk penderitaan. Karena itu, berpolitik mesti lahir dari konteks sosial politik dan harus merupakan narasi tentang kepedulian sosial. Dengan begitu, politik menjadi instrumen penting yang menjadi bagian integral dari dinamika demokrasi.

Tak boleh politik hanya dilihat sebagai jalan pintas untuk mengubah kehidupan, memperbaiki nasib. Sekali lagi Jokowi membuktikannya, dengan tak menarik-narik anak dan keluarganya masuk dalam urusan politik atau menggunakan kekuasaan untuk mensejahterakan keluarganya.

Seperti dalam arti bahasanya, bahwa politik disebut sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan: segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara terhadap negara lain. Karena itu dua karya klasik yang menjadi magnum opus, republic-nya Plato dan Politics-nya Aristoteles menjelaskan sejatinya politik itu agung dan mulia, yaitu sebagai wahana membangun masyarakat utama. sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum.

Ini artinya, politik dititahkan sebagai jalan pendorong terciptanya karakter kebajikan pada tiap individu dalam negara. Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perpect society. Sementara bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker, 1961).

Dengan demikian, para politikus sejatinya mengemban sejumlah tugas penting nan mulia, yaitu; sebagai policy maker, legal drafter, dan sebagai legislator atau penyambung lidah rakyat dalam bahasanya Bung Karno.

Satu hal lagi yang juga penting harus ada dalam diri seorang politikus, yaitu tertanamnya etika kepedulian. Etika kepedulian menjadi dasar untuk melengkapi etika keadilan. Sementara keadilan tanpa kebaikan hati tidak punya dasar sama sekali, dan cenderung menjadi ideologis serta ganas. Adapun kepedulian tanpa keadilan bisa merosot menjadi sentimentalitas. Etika kepedulian mengajak kita untuk memperbaiki situasi dan struktur secara lebih komprehensif berdasarkan nilai khas Indonesia; silih asih, silih asah, dan silih asuh dengan orang lain.

Apa yang dicitrakan Pak Jokowi dalam sepekan terakhir, tak lebih dari sekadar usaha untuk mengembangkan etika kepedulian. Ini karena hati nurani merupakan lokus kesadaran manusia sekaligus puncak kecerdasan yang menurut Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai ‘kecerdasan spiritual dan sosial. Ini tak lebih dari upaya untuk menumbukan kembali etika kepedulian (bring back values) yang selama ini terkubur oleh pragmatisme dan silaunya politik serta kekuasaan.

*Sekjen Relawan Balad JKW