Polemik Pendidikan Militer Bagi Pelajar dan Mahasiswa

Seperti yang kita ketahui institusi militer terkenal dengan kedisiplinan dan cinta tanah airnya.

Polemik Pendidikan Militer Bagi Pelajar dan Mahasiswa

MONDAYREVIEW.COM – Pelajar dan mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa. Merekalah yang akan meneruskan estafeta kepemimpinan dari generasi sebelumnya. Pepatah Arab mengatakan, Syubbanul Yaum, Rijalul Ghad. Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok. Nasib bangsa kita di masa depan ditentukan oleh para pelajar dan mahasiswa hari ini. Jika pemudanya berkarakter kuat, maka kepemimpinan di masa depan juga akan kuat. Namun jika pelajar, mahasiswa dan pemudanya tidak berkarakter, maka masa depan bangsa akan menjadi pertaruhan.

Terlebih sebentar lagi kita akan memasuki era bonus demografi, dimana 70% rakyat yang hidup di Indonesia adalah angkatan kerja produktif. Sedangkan yang tidak produktif hanya 30% saja. Bonus demografi adalah sebuah pertaruhan besar, jika kita berhasil memanfaatkannya maka kita akan menjadi negara maju. Namun jika kita gagal, maka akan terjadi ledakan pengangguran. Mimpi buruk menjadi negara gagal pun ada di depan mata. Bonus demografi adalah sebuah keniscayaan yang mesti dihadapi. Tinggal bagaimana kita menyiapkan hal tersebut?

Pendidikan masih menjadi satu hal yang paling penting dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Pendidikan di sini jangan hanya dimaknai sebagai sekolah, namun segala daya dan upaya agar anak bangsa menjadi terdidik. Mayoritas memang melewati jalur formal yakni institusi sekolah. Namun sebagian kecil menempuh jalur informal seperti kursus atau home schooling. Selain melakukan transfer ilmu, pendidikan juga diharapkan bisa menjadi sarana transfer nilai. Pendidikan diharapkan tidak hanya membuat peserta didik menjadi pandai, namun juga menjadi pribadi yang berkarakter.

Karena itu pemerintah mewacanakan untuk menanamkan karakter kepada anak-anak bangsa. Salah satunya adalah dengan cara kerja sama dengan civitas militer untuk melatih peserta didik. Seperti yang kita ketahui institusi militer terkenal dengan kedisiplinan dan cinta tanah airnya. Maka masuk akal jika jika guna melatih kedisiplinan dan patriotisme, militer dilibatkan dala pendidikan. Gagasan ini sudah ada sejak Mendikbud dijabat oleh Muhadjir Effendy. Nadiem Makarim akan melanjutkan gagasan ini dengan menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertahanan.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nizam, mengatakan pendidikan Bela Negara direncanakan untuk diselenggarakan melalui skema Kampus Merdeka yang tengah berjalan sejak Januari. Dalam skema tersebut, mahasiswa diberikan waktu hingga dua semester untuk menjalani mata kuliah di luar program studi. Hal itu ia utarakan menyusul pernyataan Wakil Menteri Pertahanan, Wahyu Sakti Trenggono, yang menginginkan pendidikan militer melalui program Bela Negara bagi para mahasiswa dan terhitung dalam satuan kredit semester (SKS).

Sementara, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, mengatakan pendekatan militerisme dalam ranah pendidikan formal sangat berbahaya karena dapat memelihara kultur kekerasan. Fatia juga mempertanyakan tujuan kebijakan itu dengan menyebutnya sebagai upaya untuk meminimalisir sikap kritis dari mahasiswa agar lebih patuh terhadap sistem-sistem yang dikelola oleh negara.

Militerisme dalam pendidikan memang perlu dikaji secara kritis. Pertama, apakah militerisme merupakan satu-satunya cara membangun karakter? Tidak adakah cara lain? Kedua, dalam era kompetisi saat ini inovasi dan daya kreatif mutlak dibutuhkan untuk dapat bertahan. Sementara itu militerisme membuat individu taat dan patuh terhadap instruksi. Meskipun begitu tetap harus ada SDM kita yang menekuni dan terjun dalam dunia militer sebagai alat pertahanan negara menghadapi ancaman dari manapun. Mereka lah taruna-taruna bangsa yang menempuh pendidikan di Akademi Militer atau lembaga sejenis