Perencanaan Pembangunan Perlu Sesuaikan Perubahan Iklim
Beberapa wilayah yang terancam mengalami pergerakan tanah berdasarkan pantauan citra satelit di antaranya adalah Lhoksemauwe, Medan, Jakarta, Bandung, Bopunjur, Pekalongan, Semarang dan Sidoarjo. Penurunan pun bervariasi mulai dari 4.5 sampai 22.5 cm per tahun
.jpg)
MONITORDAY.COM -- Direktur Eksekutif CIDES Indonesia Rudi Wahyono menilai dalam membuat sebuah perencanaan pembangunan seharusnya pemerintah menyesuaikan dengan perubahan iklim.
Hal itu dikemukakan Rudi saat menjadi pembicara di Dialog “Spatial Planning” dalam Rangka Lustrum ke VIII Jurusan Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya, Senin (26/2).
“Perencanaan Pembangunan seharusnya menyesuaikan atau beradaptasi dengan Perubahan Iklim yang terjadi baik lokal maupun global,” terang Rudi dalam keterangan pers yang diterima Monitorday.com, Kamis (1/3/2018).
Dalam analisisnya, secara global, perubahan iklim itu telah menimbulkan peningkatan Tinggi Muka Laut (Sea Level Rise) dengan laju kenaikan rata-rata sebesar 3-10 mm per tahun. Hal ini berdampak sangat signifikan pada kota kota tepian air (waterfront city).
Dampaknya, akan terjadi peningkatan fenomena cuaca ekstrem dan berdampak pada ranah sosial ekonomi, yaitu peningkatan urbanisasi dan pertumbuhan penduduk, peningkatan kebutuhan air, pangan, dan ketersediaan lahan.Secara jangka panjang, kenaikan muka air laut ini akan membuat Kota Tenggelam karena penurunan muka tanah dan pergerakan tanah.
“Hal itu berdasarkan citra satelit InSar (Interferogram Satelit Aperture Radar). Meluasnya banjir, longsor serta gempa bumi adalah konsekuensi dari kenaikan muka air laut. Asumsinya, jika terjadi kenaikan 3-10 mm per tahun, maka terjadi pergerakan tanah sebesar 6-100 mm per tahun,” jelas Master Ilmu Lingkungan dari National Cheng Kung University, Taiwan ini.
Beberapa wilayah yang terancam mengalami pergerakan tanah berdasarkan pantauan citra satelit di antaranya adalah Lhoksemauwe, Medan, Jakarta, Bandung, Bopunjur, Pekalongan, Semarang dan Sidoarjo. Penurunan pun bervariasi mulai dari 4.5 sampai 22.5 cm per tahun.
“Padahal, Jakarta secara kumulatif telah mengalami penurunan muka tanah sebesar 2000 mm sejak tahun 1900 hingga 2013,” jelas Rudi. Pergerakan tanah ini diperparah dengan semakin rusaknya sistem pengelolaan air di perkotaan. Penyebabnya, ekstraksi air tanah yang berlebihan, penambangan migas dan batubara, gempa tektonik.
[SA/San]