Perbaiki Neraca BPJS Kesehatan dengan Satu Data

MONITORDAY.COM - Sejak beroperasi pada 2014, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak henti membuat pening kepala pimpinan di Lapangan Banteng. Pada 2019 lalu misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani terang-terangan menyatakan kalau dirinya hanyalah seorang Menteri Keuangan, bukan Menteri Keuangan Kesehatan atau Menteri Kesehatan Keuangan yang perlu terus mensubsidi keuangan BPJS Kesehatan.
Namun, cerita soal defisit kas BPJS Kesehatan selaku operator Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu sudah jadi cerita lama. Ada sedikit pelipur bagi Sri Mulyani, di era pandemi Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan mencatatkan surplus Rp18,7 triliun. Tidak seperti tahun sebelumnya yang mengalami defisit hingga Rp51 triliun.
Meski membaik, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan kondisi keuangan DJS belum bisa dikategorikan sehat, dan kewajiban BPJS Kesehatan masih besar. Surplus arus kas Rp 18,7 triliun bukan nilai aset neto yang dapat mengurangi akumulasi negatifnya yang sebesar Rp 51 triliun atau Rp 75 triliun jika ditambah hibah dan bantuan pemerintah.
Penurunan aset neto pada DJS ini diakibatkan beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi daripada pendapatan iuran yang dikumpulkan oleh BPJS Kesehatan. Sementara surplus yang dicatatkan lebih dikarenakan klaim yang menurun dari peserta BPJS yang khawatir dengan situasi pandemi, juga berkurangnya jam dokter yang melakukan praktek.
Dengan perkembangan kondisi keuangan DJS Kesehatan seperti itu, kenaikan iuran sangat diperlukan dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN. Tentu saja, disamping kenaikan iuran juga diperlukan perbaikan sistem JKN secara holistik.
Ali Ghufron mengaku, tanpa kenaikan iuran, besaran defisit DJS Kesehatan diproyeksikan akan terus naik sampai Rp56 triliun (2021), dan Rp65 triliun (2022). Defisit JKN yang tercatat selama enam tahun terakhir disebabkan oleh penyimpangan dan tudingan moral hazard dan fraud fasilitas kesehatan. Hal ini yang coba diurai direksi BPJS.
Menkeu Sri Mulyani menjelaskan beberapa masukan sebagai upaya mendukung keberlanjutan program JKN antara lain, pembenahan sistem dan manajemen JKN melalui perbaikan database peserta dan mengoptimalisasi kepesertaan, baik badan usaha maupun peserta mandiri.
Menurut Bendahara negara, tiga elemen yang sangat penting atau pilar keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kepesertaan, layanan, dan pendanaan, termasuk di dalamnya adalah tata kelola.
Berdasarkan hasil audit BPKP, Menkeu memaparkan akar masalah defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang dialami yaitu pertama, struktur iuran masih underpriced (di bawah perhitungan aktuaria) dan adverse selection pada PBPU atau peserta mandiri.
Kedua, banyak Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) baik mandiri ataupun informal yang mendaftar saat sakit dan setelah mendapat layanan kesehatan berhenti membayar iuran kepesertaan.
Ketiga, tingkat keaktifan peserta PBPU cukup rendah, hanya sekitar 54%, sementara tingkat utilisasinya sangat tinggi. Keempat, beban pembiayaan penyakit katastropik yang sangat besar (lebih dari 20% dari total biaya manfaat).
"Kalau spiritnya untuk keadilan sosial, maka yang tidak mampu akan ditanggung pemerintah, tapi yang mampu mereka harus disiplin membayar iuran. Itulah fungsinya BPJS dibuat, diberi wewenang, diberi hak, diberikan kekuasaan juga untuk meng-reinforcement," tegas Sri Mulyani. Hasil hipotesanya itu kemudian dilaporkan kepada Presiden Jokowi.
Maka, di awal tahun terbitlah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Guna menindaklanjuti Inpres itu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kementerian Keuangan menandatangani kesepakatan bersama dengan BPJS Kesehatan dalam hal pertukaran data dan informasi.
Belum terlihat akan seperti apa teknisnya Nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antar Kementerian Keuangan dan BPJS Kesehatan itu nantinya. Yang jelas, implementasi dari Inpres 1/2022 itu demi tercapainya target Rencana Pembangunan Menengah Jangka Panjang (RPJMN) agar 98% warga negara menjadi peserta JKN pada 2024.
Saat ini, kepesertaan BPJS Kesehatan telah mencakup 86% penduduk Indonesia. Dari MoU tersebut nantinya akan ada skema hingga tata cara pertukaran data.
Namun, ada lebih dari itu, sesuatu yang besar sedang ingin digapai, sudah lama Kemenkeu mecanangkan data pajak akan menjadi pertimbangan bagi semua instansi pemerintah yang memberikan layanan publik.
Regulasi Anyar
Setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang isinya membatalkan kenaikan iuran BPJS yang rencananya ditetapkan per 1 Januari 2020. Presiden kemudian mengeluarkan Perpres baru No. Ya 64 tahun 2020.
Menurut beleid itu, mulai 1 Juli 2020, peserta mandiri kelas 3 hanya membayar Rp25.500, sedangkan sisanya Rp16.500 dibayarkan pemerintah. Di 2021 dan tahun-tahun seterusnya, peserta mandiri hanya membayar iuran Rp 35.000, dan sisanya Rp7.000 dibayarkan pemerintah.
Dampak penyesuaian iuran itu cukup signifikan menopang operasional BPJS Kesehatan selama pandemi. Seiring dengan rencana penerapan kelas standar BPJS Kesehatan yang akan menaikkan pendapatan JKN. Tarif iuran baru untuk mendapatkan layanan BPJS Kesehatan masih menunggu regulasi baru yang tengah digodok tim perumus.
Dalam menunggu regulasi ini, tim yang terdiri dari DJSN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dan BPJS Kesehatan akan terus melakukan perbaikan sarana dan prasarana di beberapa rumah sakit sekaligus bersosialisasi dengan baik masyarakat maupun asosiasi kesehatan.
Hal ini merupakan respon dari para pemangku kepentingan untuk memperbaiki sistem dan manajemen JKN. Salah satunya melalui perbaikan database peserta, optimalisasi kepesertaan badan usaha, serta perbaikan sistem pembayaran dan pemanfaatan dana kapitasi sesuai anjuran Menteri Keuangan.
Di lain pihak, Mantan Anggota Penyusun Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Hasbullah Thabrany di harian Kompas mengutarakan bayak pejabat negara sering bicara tentang fiskal terbatas.
Padahal menurutnya banyak belanja negara yang tidak konsisten dengan amanat UUD 1945. Negara yang justru harus mencari dana untuk memenuhi hak penduduk. Itu amanat UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Untuk itu, negara diberi hak memungut paksa iuran JKN yang pemungutannya didelegasikan kepada BPJS Kesehatan. Menilik hasil audit laporan keuangan BPJS, ditemukan adanya kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.
Hasil audit itu sampai saat ini tidak dipublikasikan. Karenanya, Thabrany menilai surplus di arus kas DJS merupakan fatamorgana. Ia memprediksi di tahun mendatang ledakan utilisasi pascapandemi Covid-19 akan meningkatkan jumlah klaim di BPJS Kesehatan, maka dirinya mengimbau agar para direksi BPJS bersiap menghadapi kemungkinan itu.
Di sisi lain, MoU yang diteken Ditjen Pajak dan BPJS Kesehatan merupakan langkah maju. Staf Ahli Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengungkapkan integrasi data erat kaitannya dengan urusan-urusan lain mengenai tugas – kewajiban negara, terutama terkait dengan layanan publik, serta hak dan kewajiban warga negara.
Pemerintah saat ini tengah berusaha melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak melalui berbagai kebijakan, termasuk pengintegrasian semua akun warga negara, seperti nomor KTP, NPWP, rekening bank, listrik, dan BPJS Kesehatan ke dalam satu akun yaitu single indentity atau Single ID.
"Itu semua dimasukan ke dalam satu search engine, ini On Going Process karena ada kesulitan belum ada singel ID. Kita sudah punya search engine, dan berdasarkan itu kita akan melakukan development untuk melakukan segmentasi profile-nya," papar Iwan.
Saat ini walaupun sudah mencakup 80% penduduk, peran JKN kurang dari 30% dari total belanja kesehatan. Di tengah belanja publik untuk kesehatan di Indonesia yang hanya berkisar 1,4% PDB. Bandingkan dengan negara Asia Tenggara lain seperti Thailand, Vietnam, atau bahkan China yang sudah di kisaran 3% PDB, dan rata-rata dunia 5,8% PDB.
Terbitnya Inpres 1/2022 yang diiringi penyesuaian regulasi antar pihak terkait akan mengoptimalisasi jumlah peserta sesuai target RPJMN di tahun 2024, yang ujungnya menekan defisit. Pengatur keuangan negara itu sama sekali tidak suka dengan kata defisit.
Di sudut ruang kerjanya di Lapangan Banteng, Sri Mulyani dapat sedikit tersenyum.