Pemerintah Harus Menginisiasi Ekonomi Kolektif Berbasis Komunitas

MONITORDAY.COM - Setelah memasuki tahun kedua pandemi banyak orang mulai realistis. Terutama bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Tak sedikit mereka yang selama ini kerja kantoran bahkan tergolong white collar atau menempati posisi bergengsi mau bekerja apa saja. Setidaknya untuk sementara. Entah sampai kapan sampai pandemi terkendali dan kenormalan baru tak terhadang lagi oleh varian dan gelombang baru penularan virus korona.
Bagi Indonesia dengan populasi lebih dari 267 juta jiwa masalah pengangguran bukan perkara kecil. Jumlah angkatan kerja dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sementara dari sisi kualitas atau daya saing harus diakui tenaga kerja kita masih tertinggal oleh beberapa pesaing terdekat. Pada pertumbuhan ekonomi 5% saja angka pengangguran masih relatif tinggi apalagi ketika pandemi datang dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) cukup tinggi.
Hingga medio 2021 ini dari berbagai sumber dilansir bahwa angka pengangguran dalam suasana pandemi ini mencapai 10 juta orang. Diantara mereka ada karyawan hotel, pekerja manufaktur, hingga para pekerja di sektor jasa. Dari sektor formal hingga informal. Dari pegawai yang telah lama bekerja hingga pegawai baru.
Hampir semua sektor terpukul. Langsung atau tak langsung. Termasuk wirausaha dan sektor informal sebagai tempat bergantung sebagian besar penghidupan rakyat Indonesia. Di level UMKM ini seringkali pendapatan pengusaha dan karyawannya tak begitu jauh terpaut. Banyak diantaranya yang bekerjasama dalam kemitraan setara. Begitu usaha merosot bahkan tutup tabungan pun terkuras. Modal habis dan sulit untuk bangkit kembali.
Dalam situasi seperti ini berbagai subsidi diperlukan. Lebih dari itu perlu inisiatif pemerintah menggerakkan sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. BUMN misalnya dapat mengembangkan pola-pola terobosan untuk membangun bisnis dari rakyat untuk rakyat. Dengan kapasitas yang dimiliki, produksi dan distribusi produk yang esensial dibutuhkan konsumen dalam negeri dapat dijadikan pilihan.
Pemerintah perlu mengembangkan program-program padat karya berbasis komunitas. Setidaknya dalam skema pemberdayaan bagi mereka yang belum mendapatkan pekerjaan dengan memanfaatkan peluang penyediaan kebutuhan sehari-hari. Ekonomi kolektif ala koperasi sebenarnya paling cocok bagi komunitas. Tujuannya untuk kesejahteraan bersama.
Dalam skema tersebut disamping memberikan peluang pekerjaan baru juga dapat mendorong pengembangan komunitas ketahanan dan kemandirian pangan. Kerja kolektif bukan perkara mudah dalam masyarakat yang terbawa arus pasar bebas. Kepercayaan kepada mitra kerja tak dapat dibangun serta-merta. Meski begitu kita perlu sadari bahwa dengan atau tanpa pandemi kita harus memiliki kemampuan kolaborasi. Itu kunci keberhasilan di masa kini dan masa depan. Kemampuan kolaborasi itulah yang harus dibangun dalam kerangka mengembangkan ekonomi kolektif berbasis komunitas.
Bersamaan dengan itu kita perlu menyadari bahwa produktif saja tidak cukup. Indonesia semakin membutuhkan efisiensi di semua lini. Pemerintah harus mampu mengatasi masalah inefisiensi dan manajemen rantai pasok barang. Dan pada saat yang sama memberi kemudahan dalam perizinan. Kalau kalah efisien dan terhambat birokrasi maka berbagai inisiatif membangun ekonomi kolektif akan kalah oleh industri dan pemain besar yang kuat modal dan efisien dalam menjalankan usaha.