Pembiayaan China: Peluang atau Ancaman?

MONITORDAY.COM - Di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia memiliki ambisi besar mengejar ketertinggalan dalam pembangunan. Hanya saja, modal yang dimiliki dari sisi fiskal sering tidak memadai. Pemerintah tidak memiliki kelonggaran pembiayaan dalam anggaran negara yang dapat dipergunakan untuk menopang target-target besar yang telah dicanangkan. Sumber-sumber penerimaan negara dari pajak maupun non pajak masih terbatas di tengah porsi pembayaran utang yang semakin menekan anggaran negara. Pilihannya adalah mengoptimalkan sumber pembiayaan di luar pemerintah, yaitu investasi swasta dari dalam atau luar negeri. Sayangnya, ini juga bukan perkara mudah. Ada prasyarat yang harus tersedia: seperangkat kebijakan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang baik dan menjanjikan bagi sektor swasta.
Perkara ini membawa pemerintah menghadapi persoalan rumit dan melahirkan polemik di tengah masyarakat. Memperbesar kapasitas fiskal dalam membiayai pembangunan, berarti membuka peluang penambahan utang baru untuk membiayai defisit yang melebar. Meskipun sebagian besar porsi utang pemerintah berasal dari surat berharga, namun utang luar negeri yang bersumber dari bilateral maupun multilateral porsinya masih cukup besar. Demikian juga serangkaian reformasi struktural berupa kemudahan perizinan berusaha, pemberian insentif, atau kebebasan investasi harus dikelola secara tepat agar tidak memunggungi kepentingan nasional. Dua soal ini –investasi dan utang luar negeri, harus dilihat secara teliti agar tujuan pembangunan nasional untuk menciptakan kemandirian, kesejahteraan dan keadilan sosial dapat tercipta.
Dari mana sumber-sumber pembiayaan pembangunan bagi negara-negara berkembang, sebenarnya merupakan masalah klasik. Bagi Indonesia sejak awal Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga saat ini, persoalan ini telah menjadi polemik panjang. Apalagi jika sumber pembiayaan itu berasal dari investasi asing dan utang luar negeri. Ekonomi-politik pembiayaan pembangunan jelas menyangkut dua kepentingan utama, yaitu memacu tingkat pertumbuhan ekonomi berkualitas dan kepentingan rakyat akan pemerataan hasil-hasil pembangunan, yang dalam perspektif ekonomi politik harus dapat mengentaskan ketimpangan dan kemiskinan.
Di satu sisi, kita menyadari bahwa utang luar negeri dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan devisa, tapi kita juga tahu bahwa itu akan menciptakan ketergantungan pembiayaan pada pihak asing. Jika ingin mengurangi, konsekuensinya sumber-sumber pembiayaan dalam negeri harus dikembangkan. Begitupun masalah investasi asing. Sejak awal kemerdekaan menjadi debat penting yang mendorong kewaspadaan agar hal ini tidak merugikan bangsa namun menjadi pintu kemajuan bagi peningkatan pembangunan Indonesia dan kesejahteraan rakyat. Sebuah area untuk menguji komitmen pelaksana kebijakan pada landasan dasar konstitusional sambil melihat dengan cermat perkembangan keadaan internasional yang dinamis. Dari sini kita memasuki satu isu menarik sekaligus sensitif, yaitu mengenai peran China dalam pembiayaan pembangunan di Indonesia.
Kekuatan Baru dari China
Pemerintahan Joko Widodo memberikan prioritas tinggi pada bidang diplomasi ekonomi dalam konteks kerja sama internasional. Pemerintah menyusun suatu kerangka politik internasional yang ditujukan untuk mencapai target-target pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam menarik investasi asing dan utang luar negeri. Beragam ikhtiar kebijakan mendorong transformasi ekonomi dilakukan di tingkat domestik untuk memproduksi barang dan jasa dengan nilai tambah tinggi guna memenui pasar dalam negeri dan ekspor. Indonesia juga terbilang agresif melakukan reformasi ekonomi untuk mengatasi hambatan-hambatan struktural dan secara aktif melakukan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan di tingkat bilateral maupun regional.
Kepentingan nasional Indonesia ini mendapat peluangnya ketika China muncul sebagai negara yang memiliki kekuatan yang besar di kawasan. China tumbuh melesat sebagai kekuatan ekonomi yang mendominasi arus perdagangan dan investasi global, terutama di Asia. Ambisi maritim Jokowi di periode pertamanya, bertemu dengan upaya China untuk membangun Maritime Silk Road sebagai bagian dari “One Belt, One Road (OBOR) Strategic Plan”. Pada maret 2015, dalam pertemuan antara Jokowi dan Xi Jinping, keduanya menyatakan bahwa poros maritim dunia dan martime silk road adalah saling melengkapi. Sejak saat itu, China mulai banyak membiayai rencana besar pembangunan di era pemerintahan Jokowi. Infrastruktur merupakan satu bidang yang mendapat perhatian besar karena membutuhkan pendanaan hingga 45 miliar dolar AS selama periode 2015-2019. Infrastruktur adalah program utama yang ditujukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7% pada 2019 yang ditargetkan pemerintah dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019.
Beijing merespon rencana ini dengan memperkuat hubungan ekonomi serta menunjukan komitmennya dalam mendukung pembiayaan yang telah dirancang pemerintah Indonesia. Hal tersebut terlihat pada penandatanganan MoU China-Indonesia Pada 23 April 2015 untuk mengalokasikan 50 miliar USD dalam bentuk pinjaman dari China Development Bank dan the Industrial and Commercial Bank of China. Periode ini juga ditandai dengan meningkatnya pinjaman luar negeri dari China dari sisi jumlah dan nilainya sejak 2015. Peningkatan tajam terutama terjadi pinjaman China untuk sektor swasta, nomor dua setelah Singapura. Data BKPM 2020 menyebutkan, total akumulatif Investasi dari China 2015-2019 juga meningkat 800% dibandingkan 2009-2014.
Di seluruh dunia, skala dan cakupan hibah dan utang luar negeri China menjadi kompetitor atau telah melebihi kreditor utama lainnya. Data China’s Overseas Development Finance Database menunjukkan, dari 2008 hingga 2019 pembiayaan pembangunan luar negeri Tiongkok telah mencapai hampir setengah triliun dolar (USD462 miliar). Pada periode yang sama, pinjaman Bank Dunia sebesar USD467 miliar, hanya sedikit lebih besar dari jumlah yang disalurkan oleh China. Setelah pengumuman Belt and Road Initiative (BRI) pada 2013, pinjaman China tumbuh secara signifikan selama beberapa tahun, dan kemudian menurun secara dramatis karena pertumbuhan ekonomi China melambat dalam beberapa tahun terakhir.
Melalui Belt and Road Initiative, China membangun "Sabuk" proyek jalan raya, rel, pelabuhan, dan pipa yang menciptakan koridor infrastruktur dari Cina ke Asia Tengah dan Eropa dan "Jalur Sutra Maritim" yang menghubungkan Cina ke Selatan dan Tenggara Asia, Timur Tengah, dan Afrika melalui serangkaian pelabuhan laut dalam di sepanjang area pesisir Samudra Hindia, menjanjikan proyek pembangunan infrastruktur lebih dari USD 1 triliun dan mencakup lebih dari 60 negara. Hal ini jelas menguntungkan China dan memperbesar pengaruh mereka di berbagai kawasan, terutama bagi negara-negara yang mengalami kesulitan pembiayaan.
Meskipun begitu, ekspansi China dalam menyokong pembiayaan pembangunan di negara-negara berkembang tidak lepas dari kritik. Beberapa kalangan berpendapat bahwa China memiliki sistem internal yang lemah untuk menilai kelayakan ekonomi calon proyek, sehingga menjadi tidak efisien secara ekonomi. Menurut The Economist (2017), China juga tampak mengulangi banyak kesalahan yang dibuat oleh kreditor dan investor Barat di tahun 1970-an, ketika uang mengalir ke proyek infrastruktur besar yang tidak pernah menghasilkan keuntungan ekonomi yang diharapkan. Yang lain berpendapat bahwa bank dan pemerintah Tiongkok tidak secara memadai memperhitungkan kapasitas pembayaran kembali peminjam dan pada akhirnya mengurangi prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara peminjam (Onjala 2018; Hausmann 2019).
Bagi pemerintah Indonesia, kemunculan China sebagai pemain yang berpengaruh di berbagai aspek termasuk politik, keamanan, ekonomi, dan militer memunculkan ambigu. Di satu sisi Indonesia melihat peluang untuk mendapatkan keuntungan dari hubungan yang baik antara kedua negara. Tetapi di sisi lain Indonesia juga menunjukkan kecemasan dan ketidakpastian akan peran-peran jangka panjang yang akan dimainkan China di kawasan. Mengelola hubungannya dengan China menjadi tantangan paling sulit dalam kebijakan luar negeri Indonesia dewasa ini. Sejarah hubungan diplomatik kedua negara yang dimulai pada 1950-an, ditandai dengan awal yang sulit. Hubungan diplomatik keduanya banyak melalui fase yang dinamis, dimulai oleh persahabatan yang erat hingga saling bermusuhan dan kecurigaan.
Apakah sumber pembiayaan baru dari China untuk pembangunan ini mendorong pertumbuhan ekonomi, masih menjadi bahan perdebatan dan membutuhkan penelitian lebih lajut. Tetapi yang jelas adalah China telah menjelma menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia saat ini. Kemampuan keuangan yang dimilikinya, telah mengubah peta kekuatan ekonomi dunia yang sebelumnya didominasi Inggris dan dilanjutkan Amerika. Ekspansi China telah menjangkau berbagai belahan dunia, baik melalui perdagangan, investasi dan skema-skema pinjaman yang tidak seluruhnya terbuka. Bagi Indonesia, ini merupakan tantangan sekaligus kesempatan untuk membuka dialog yang lebih terbuka dan setara agar hubungan ekonomi kedua negara dapat terus berlangsung dengan prinsip saling menghormati dan saling memberi keuntungan. []