Jangan Ada Hoaks Diantara Kita

Polisi dituntut untuk menegakan hukum secara adil kepada para penyebar hoaks. Hoaks mengancam keutuhan negeri ini.

Jangan Ada Hoaks Diantara Kita
ilustrasi

MONDAYREVIEW- Siapa yang tidak sakit hati, jika pasangan kita berdusta. Kepercayaan yang selama ini ditanam bersama bisa luntur. Biduk rumah tangga pun terancam. Untuk mengembalikan kepercayaan lagi terasa sulit, saat pengkhianatan sudah merusak rasa cinta.  Permisalan ini meskipun tak sama, mungkin dirasakan oleh Presiden, saat rakyatnya menebar kedustaan tentang dirinya. Semua prestasi dan kerja kerasnya dianggapnya tak pernah ada.

 

Hoaks, yang artinya berita bohong, yang kini tengah mewabah membuat kita prihatin. Beberapa orang ditangkap polisi, karena menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian. Mereka mengaku tergabung dalam Muslim Cyber Army (MCA). Polisi masih memburu sejumlah orang yang terkait dengan kelompok ini, bahkan seorang pelaku tengah berada di Korea Selatan. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Mohammad Iqbal, mereka tidak hanya menyebarkan ujaran kebencian dan konten berbau SARA, juga mengirim konten berisi virus kepada pihak tertentu untuk merusak perangkat si penerima.

 

Mereka menyebarkan isu-isu provokatif di media sosial, mulai isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia, penculikan ulama, dan mencemarkan nama baik presiden dan pemerintah. Terakhir, mereka menyebarkan isu bohong tentang penganiayaan pemuka agama dan pengrusakan tempat ibadah yang telah membuat resah masyarakat.

 

Kelompok penebar hoaks tak juga hilang. sebelumnya, kelompol dengan nama Saracen, pada Agustus tahun lalu, sudah ditangkap kepolisian. Sindikat ini merupakan sebagai dalang di balik akun penyebar hoaks dan berbau SARA. Bahkan, saat itu, polisi menyebut ada lebih dari 800 ribu akun yang mirip dengan Saracen, yang jadi incaran polisi.

Para pelaku, biasanya mengunggah gambar, meme, atau sebuah narasi pada grup tertentu. Kemudian grup menjadi ramai memperbincangkan konten yang diunggah sedangkan pelakunya menghilang dan langsung menutup akun.

Polisi juga tengah menelusuri beberapa kelompok yang terkait dengan Muslim Cyber Army (MCA), yang menamai dirinya, Akademi Tempur MCA, Pojok MCA, The United MCA, The Legend MCA, Muslim Coming, MCA News Legend,  Special Force MCA, Srikandi Muslim Cyber dan Muslim Spiner.

Belum ada keterangan resmi dari kepolisian, apa sesungguhnya motif mereka. Namun, diduga mereka memiliki motif ekonomi, sebagaimana kelompok Saracen. Jika motifnya bisnis, tentu ada kelompok besar yang mendanai aksi-aksi mereka. Namun, berdasarkan penelitian Savic Ali, peneliti dari  Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menduga kelompok ini tidak terorganisir dan tidak dikomandoi oleh satu orang sebagai sentral pergerakan

Awalnya, menurut Savic seperti dikutip Tirto.Id, merek menyebarkan informasi bohong untuk menjatuhkan kredibilitas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI. Cara kerja kelompok ini, kata Savic, dengan menggunakan isu agama. Isu ini dipilih lantaran agama adalah cara tercepat agar mempengaruhi rakyat Indonesia. Kemudian, kata dia, mereka memakai sumber tidak jelas untuk membuat informasi yang keliru. Apapun yang mereka sampaikan adalah sesuatu untuk menjatuhkan pemerintah, meski isinya tidak benar.

 

Jika motifnya bisnis, lalu siapa tokoh intelektual yang memesan berita bohong itu? Hingga saat ini, polisi masih melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Tentu tidak cukup mereka yang ditangkap, rakyat berharap besar, polisi berhasil membongkar siapakah dalang di balik jaringan yang telah berulah membuat kegaduhan nasional ini.

 

Berita Hoaks, tidak hanya mendapat keuntungan finansial dari si pemesan, juga dari iklan yang memenuhi situs mereka. Dalam artikel ‘Disrupting The Business Model of the Fake News Industry’, Katherine Haenschen, seorang pemerhati partisipasi politik dalam media sosial di Universitas Texas, mengatakan pembuat berita bohong dapat menghasilkan banyak uang dari pendapatan iklan yang berasal dari lalu lintas pengguna internet ke situs mereka. Pembuat berita bohong akan menekankan keuntungan luar biasa yang dilakukan dengan membuat berita itu viral, antara lain melalui Facebook.

 

Menurut Katherine, skemanya sederhana, seorang individu atau kelompok menerbitkan berita bohong di situs mereka, lalu menyebarkannya melalui media sosial, baik yang tak berbayar maupun berbayar sebagai iklan, semisal melalui Facebook. Selanjutnya, pengguna Facebook akan mengklik tautan yang diiklankan dan pergi ke situs berita bohong tersebut. Maka situs berita bohong memperoleh pendapatan dari tayangan iklan yang dihasilkan di situsnya.

 

Pembuat situs berita bohong juga memiliki group atau fanpage di Facebook untuk mempromosikan situsnya. Dengan cara ini, mereka mampu menjaring para pengunjung situs secara masal, tanpa perlu diarahkan lagi. Nah, apakah modus bisnis seperti ini juga dilakukan Muslim Cyber Army?

 

Namun, Jika motifnya ideologis, lalu ideologi apa yang mereka bawa? Jika Identitas muslim seperti mereka sematkan pada kelompoknya, Muslim Cyber Army, tentu  cara-cara kotor seperti ini, terlarang dalam islam, bahkan telah merusak citra Islam itu sendiri.  Sebaiknya apa pun tujuannya, misalnya untuk menegakan kebenaran, tidak bisa diraih dengan cara-cara yang terlarang. Atau, ada kelompok lain, yang sengaja menyusup untuk menghancurkan kelompok ini. 

 

Para tokoh agama mengutuk aksi kriminal mereka, yang telah menebarkan hoaks dan mengapresiasi keberhasilan polisi membongkar jaringan ini. “Ujaran kebencian dan penyalaggunaan medsos dengan motif apa pun, bukanlah akhlak mulia,” tegas Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seperti dikutip Monitorday.com. Haedar menghimbau masyarakat tidak mudah terpancing berita bohong dan ujaran kebencian. Karena itu, pemerintah harus segera meredam penyebarannya di media sosial.

 

Demokrasi liberal telah melahirkan ekstrimisme untuk meraih kekuasaan. Persaingan politik bisa mendorong para pendukung satu kelompok, berbuat apa saja termasuk merusak citra pesaing, mulai mengungkit aib pribadi dan keluarganya, hingga membongkar dosa-dosa politiknya. Bahkan, menyebarkan berita bohong untuk merontokan kredibilitasnya.

 

Riak-riak itu sudah mulai terlihat menjelang penghelatan akbar, Pilkada dan Pemilu. Kita sudah menyaksikan bagaimana riuhnya Pilkada DKI. Masyarakat seolah-olah terpecah, antara kubu pendukung petahana dan penantangnya, antara Ahok-Djarot versus Anis-Sandi. Meskipun Pilkada DKI sudah usai, luka politik seolah-olah belum sembuh.  Apakah Pemilu dan Pilpres juga mengoyak soladaritas kita sebagai bangsa yang majemuk? Tentu saja, kita berharap “TIDAK”.

 

Masyarakat berharap polisi bertindak adil dan transparan, semua yang melakukan ujaran kebencian dan berita bohong, tidak hanya kelompok MCA yang  ditangkap. Karena, jika kepercayaan masyarakat sudah ternoda, dikhawatirkan akan lebih mudah memproduksi kebencian dan perlawanan, yang berbahaya bagi keutuhan bangsa ini.  “keadilan hukum harus adil dan ditegakan secara merata, jangan sampai ada yang ditindak tapi, sebagian yang lain dibiarkan. Jangan hanya satu kelompok saja, kan ada banyak yang sudahd dilaporkan, tidak tahu bagaimana kelanjutan kasusnya,” ujar KH. Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

 

Menghapus hoaks di tengah-tengah masyarakat, ibarat memotong rumput, nanti akan tumbuh lagi. Kecuali, dipangkas hingga akarnya. Tentu tidak cukup penegakan hukum terhadap para pelaku penyebar hoaks, masyarakat juga harus diedukasi untuk lebih beretika dan bertanggungjawab dalam bermedia sosial. Pesan dari Rocky Gerung, pakar filsafat Universitas Indonesia, patut kita dengar, “untuk menghilangkan hoaks, maka tingkatkanlah intelegensia anda,”

 

Di era melineal ini, informasi tidak bisa lagi dimonopoli oleh pemerintah dan media mainstream. Masyarakat memiliki banyak cara untuk mengakses beragam informasi. Tentu, masyarakat yang cerdas, mampu memilah-milah mana informasi yang layak dipercaya. Sebaliknya, haoks tumbuh subur di tengah masyarakat yang tidak kritis dan lemah nalarnya. Karena itu,  jangan sampai masyarakat tidak percaya terhadap informasi resmi yang disampaikan oleh pemerintah.  

 

Hidup dalam bernegara, sebagaimana membangun pilar-pilar dalam sebuah rumah tangga. Seorang suami dan ayah dituntut untuk menunjukan teladan dalam segala hal, untuk bisa meraih cinta dan kepercayaan tanpa syarat dari istrinya dan anak-anak. Inilah yang mesti dilakukan sang pemimpin untuk meraih cinta dari rakyatnya.