Peluang Industri Pelayaran Indonesia dan Malaysia Bersiap Bangkit

Asa jelang tahun baru kembali menyeruak. Tak terkecuali bagi industri pelayaran. Asosiasi Pemilik Kapal Nasional atau Indonesia National Shipowners Association (INSA) mengungkapkan pada 2021 terdapat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pemulihan industri pelayaran pasca pandemi Covid-19.

Peluang Industri Pelayaran Indonesia dan Malaysia Bersiap Bangkit
Pelabuhan di Malaysia/ Bernama

MONDAYREVIEW.COM – Asa jelang tahun baru kembali menyeruak. Tak terkecuali bagi industri pelayaran. Asosiasi Pemilik Kapal Nasional atau Indonesia National Shipowners Association (INSA) mengungkapkan pada 2021 terdapat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pemulihan industri pelayaran pasca pandemi Covid-19.

Pertama, pelayaran nasional masih memiliki sejumlah peluang makro yang bisa ditangkap dan mengoptimalkan kinerja perusahaan pelayaran.

Setidaknya terdapat 5 peluang utama yakni kebijakan beyond cabotage, angkutan fame setelah pemerintah menetapkan B40, wisata bahari, pemindahan Ibu Kota negara, serta pengiriman material mentah dan BBM.

Kedua, peluang dari beyond cabotage, ini peluang karena masih terbuka, beyond cabotage ini yakni pemerintah memberdayakan pelayaran untuk angkutan ekspor, guna mengurangi defisit transaksi jasa. Ini masih terbuka berdasarkan Permendag No.65/2020 saat ini diwajibkan ekspor menggunakan pelayaran nasional dengan kapasitas angkutan 10.000 DT.

Angka tersebut masih dapat berkembang bergantung kesiapan perusahaan pelayaran, kemauan pemilik kargo, dan keseriusan pemerintah dalam program pemberdayaan pelayaran.

Ketiga, selain peluang angkutan internasional, peluang lainnya datang dari pengangkutan fatty acid methyl ester (FAME) yang menjadi bahan campuran dari kelapa sawit untuk membuat biosolar. Pemerintah baru saya menetapkan kewajiban B30 (campuran biodiesel 30 persen FAME dan 70 persen solar) menjadi B40.

Dari segi angkutan pelayaran nasional bagus, berarti sawit yang diproduksi dalam negeri, otomatis dapat angkutannya, dari pemilik sawit biasa ekspor, sebagian fame dimasukkan, porsi impor solar pun berkurang, ini bisa buka peluang angkutan meningkat.

Keempat, peluang lainnya datang dari pelayaran wisata bahari yang menjadi salah satu faktor kunci percepatan pemulihan yang jadi andalan pemerintah yakni pariwisata. Seiring hasil vaksinasi lihat perkembangan daripada kebijakan pemerintah kegiatan wisata dan yang dibatasi saat ini. Selain kondisi Covid-19 sebenarnya peluang ini ada tantangan pengembangan daerah wisata harus diikuti kondisi daratannya.

Pemerintah pun pada 2021 akan melanjutkan rencana pemindahan Ibu Kota, sehingga menjadi peluang bagi pelayaran dalam angkutan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur Ibu Kota negara baru.

Terakhir, peluang pengangkutan material mentah dan BBM tetap menjadi hal yang menarik pada 2021. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan sejumlah smelter baru yang mulai dibangun.

Sementara itu Malaysia juga bersiap untuk memulihkan industri maritimnya. Kantor berita Bernama melaporkan bahwa perdagangan maritim global diperkirakan anjlok 4,1 persen pada tahun 2020, karena pandemi kesehatan telah berdampak tidak hanya pada rantai pasokan tetapi juga jaringan pengiriman dan pelabuhan, yang mengakibatkan jatuhnya volume kargo, termasuk bagi Malaysia.

Industri ini juga telah berurusan dengan dampak langsung dari proteksionisme perdagangan yang tumbuh dan kebijakan yang berorientasi ke dalam, menurut Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam sebuah laporan bulan lalu.

Secara lokal, operator pelabuhan Malaysia, Westport Holdings Bhd mengatakan volume peti kemasnya turun empat persen selama sembilan bulan pertama tahun 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Layanan petikemas lebih rendah sebesar 7,73 juta unit setara dua puluh kaki (TEU) selama sembilan bulan pertama tahun 2020 karena volume dan permintaan kontainer dipengaruhi oleh berbagai bentuk pembatasan yang diberlakukan secara global untuk mengendalikan penyebaran COVID-19.

Menurut Shipping Association Malaysia (SAM), layanan peti kemas untuk tahun 2020 diperkirakan akan berkurang sebesar 15 persen dari 25 juta TEU pada tahun 2019 karena aktivitas transhipment yang lebih rendah dan volume peti kemas yang disebabkan oleh gangguan pada rantai pasokan.

Sektor maritim Malaysia juga menghadapi perdebatan sengit tentang kebijakan cabotage di Parlemen pada akhir November, yang menyebabkan perubahan kebijakan Malaysia dan memicu beberapa positivisme di kalangan industri.

Pada 24 November, Menteri Transportasi Datuk Seri Dr Wee Ka Siong saat mengakhiri debatnya tentang RUU Suplai 2021 mengatakan kepada Dewan Rakyat tentang keputusannya untuk mencabut pengecualian kebijakan cabotage yang memungkinkan kapal berbendera asing memperbaiki kabel bawah laut di perairan Malaysia.

Pencabutan yang diusulkan mendorong mantan menteri transportasi Anthony Loke Siew Fook yang telah memberikan pengecualian pada saat itu, mempertanyakan alasan Wee untuk keputusan tersebut.

Selanjutnya, anggota parlemen oposisi dan perusahaan teknologi raksasa mempertanyakan sikap pemerintah dalam menyambut investasi dari perusahaan internasional serta aspirasi Malaysia sebagai hub pusat data.

Namun, Asosiasi Pemilik Kapal Malaysia, Asosiasi Pemilik Kapal Pendukung Minyak Malaysia (OSV) (MOSVA), dan Asosiasi Industri Kelautan Malaysia (AMIM) menyambut baik keputusan untuk mencabut pengecualian kebijakan cabotage.

Mereka melihatnya tepat waktu karena mereka merasa perusahaan lokal harus diberi kesempatan dan pertimbangan sebelum tender untuk pekerjaan terkait diberikan kepada perusahaan asing.

Presiden MOSVA Mohamed Safwan Othman mengatakan asosiasi mendukung keputusan pemerintah dan menekankan bahwa lebih banyak tindakan harus diambil untuk merevitalisasi dan melindungi ekonomi lokal karena telah menanggung beban berat COVID-19.

Mengutip negara lain yang melakukan tindakan serupa, dia mengatakan Amerika Serikat, Brazil bahkan Indonesia memiliki kebijakan cabotage yang lebih ketat daripada Malaysia. Dia juga menekankan bahwa ada masalah yang lebih mendesak daripada cabotage, dengan banyak perusahaan palsu Malaysia yang beroperasi di wilayah tersebut.