Strategi Pencegahan Korupsi Bansos Covid-19
BLT lebih efektif karena transaksinya menggunakan sistem keuangan atau bank, sehingga bisa dilacak dan kecil kemungkinan terjadinya penyimpangan

MONDAYREVIEW.COM – Kasus korupsi yang menimpa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menjadi gambaran betapa korup sistem pembagian bantuan sosial untuk rakyat selama pandemi. Bantuan sosial yang berupa paket sembako harus mengalami pemotongan oleh sebagian oknum pejabat. Potongan tersebut jika diakumulasikan akan mendapatkan jumlah yang besar. Disinyalir Juliari Batubara mendapatkan uang sebesar 15 miliar dari hasil korupsi terhadap paket bansos. Lantas kenapa korupsi bansos bisa terjadi? Bagaimana strategi meminimalisir korupsi bansos?
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengakui bansos yang berbentuk sembako (sembilan bahan pokok) memang rentan penyimpangan dalam penyalurannya.
Menurut Bhima, selama bentuk bantuannya sembako, ini kasus ini sering berulang dan bukan hal yang baru, sembako ini rentan karena dalam pengadaan barang dan jasa banyak pihak yang bisa bermain, walau dari segi administrasi sudah sesuai, tapi perusahaan yang bersangkutan bisa memiliki konflik kepentingan. Bhima melihat rentannya bansos terhadap penyelewengan seharusnya mendorong pemerintah untuk mengalihkan distribusi bantuan sosial melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT).
BLT lebih efektif karena transaksinya menggunakan sistem keuangan atau bank, sehingga bisa dilacak dan kecil kemungkinan terjadinya penyimpangan, jumlah yang diterima pun akan sama dan tidak berubah. BLT juga memberikan kepercayaan ke penerima, mau uangnya digunakan untuk beli sembako atau bayar tagihan yang lain, karena tidak semua orang kebutuhannya itu sembako.
Namun, Muhamad Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi dari The Indonesian Institute, mempertanyakan efektivitas penyaluran BLT di tengah pandemi karena adanya perubahan pola konsumsi masyarakat.
Menurutnya, kalau seseorang hidup sendiri dan masih memiliki tabungan yang cukup maka bantuan tunai tidak berubah menjadi konsumsi justru malah menjadi tabungan. Sebab mereka khawatir entah takut terjadi pemutusan hubungan kerja ke depannya atau penurunan gaji. Sedangkan, kalau pegawai yang berkeluarga mungkin saja langsung dibelanjakan sebab kebutuhannya banyak.
Oleh karena itu, selain BLT, Rifki melihat pemerintah juga bisa mengubah bantuan dari sembako atau menggabungkan BLT dengan kupon belanja yang memiliki jangka waktu tertentu. Dengan bentuk kupon belanja berjangka waktu, masyarakat tidak memiliki pilihan selain menukarkan kupon tersebut dalam bentuk barang kebutuhan pokok ke toko yang menjadi mitra pemerintah. Hasilnya aktivitas dan perputaran ekonomi akan tetap berjalan.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan melihat kasus korupsi bantuan sosial ini sangat ironis sekali, mengingat pada bulan Oktober lalu Menteri Keuangan menyampaikan bahwa Kementerian Sosial menempati posisi pertama dari jajaran Kementerian/ Lembaga dalam hal penyerapan anggaran untuk tahun 2020. Per Oktober 2020 angka realisasinya telah mencapai Rp116,2 triliun setara dengan 111,3% dari yang ditargetkan sebesar Rp104,4 triliun.
Pemerintah perlu melihat kesuksesan suatu kementerian/lembaga tidak hanya dari tingkat daya serap anggaran, lebih jauh dari itu perlu dikawal juga penggunaan dananya memang tepat sasaran atau tidak. Dalam prosesnya, masih ditemukan kendala dalam pendataan dan juga penyaluran bantuan.
Pingkan melihat masalah utama terletak pada pendataan penerima bantuan. Selain itu, proses verifikasi yang valid atas data para penerima bantuan juga diperlukan untuk memastikan bantuan ini tepat sasaran dan berdampak kepada yang berhak menerima. Oleh sebab itu, ke depannya tim penanganan COVID-19 harus mengevaluasi hal ini dan memikirkan cara baru untuk menyalurkan bansos kepada masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya potensi korupsi di masa mendatang.