Pandemi, Vaksin, dan Obat-obatan

Pandemi, Vaksin, dan Obat-obatan
Proses vaksinasi sebagai salah satu ikhtiar manusia/ net

MONITORDAY.COM - Tak ada pilihan bagi umat manusia kecuali menghadapi pandemi ini dengan ikhtiar terbaik secara kolektif. Situasi darurat ini telah memaksa hadirnya vaksin dan ‘calon obat’ melalui mekanisme khusus demi berkejaran dengan virus yang berkarakter sangat cepat menular dan cepat pula bermutasi. 

Dapat disimpulkan bahwa musuh utama manusia abad ini adalah perubahan iklim, pandemi, dan dirinya sendiri. Di balik seluruh pencapaian peradaban homo sapiens ada celah yang kini potensial untuk semakin membesar bagai lubang hitam yang akan menelan semesta. Kesadaran dan kemampuan manusia untuk bertahan hidup sedang diuji hingga batas kemampuan optimalnya.    

Para ahli WHO menegaskan bahwa virus SARS-CoV-2 adalah virus yang sangat menular. Dibutuhkan setidaknya 60 hingga 70% dari populasi untuk memiliki kekebalan untuk benar-benar memutuskan rantai penularan. Jika kita membiarkan ini terjadi secara alami, itu akan memakan waktu lama, tentu saja, tetapi yang lebih penting, itu akan menyebabkan banyak kerusakan tambahan. 

Jadi, bahkan jika 1% orang yang terinfeksi pada akhirnya akan meninggal dunia, maka ini bisa bertambah menjadi sejumlah besar orang, jika kita melihat populasi global. Dan bukanlah ide yang baik untuk mencoba mencapai herd immunity atau  kekebalan kelompok dengan membiarkan infeksi menjadi liar di populasi dan menginfeksi banyak orang dan bahwa kita harus berbicara tentang kekebalan kelompok dalam konteks vaksin.

Itulah mengapa Vaksinasi menjadi salah satu harapan. Meski vaksin dibuat dan diluncurkan dalam situasi darurat. Berkejaran dengan waktu. Kini dari beragam vaksin tersedia dengan platform yang beragam pula. Masing-masing negara dihadapkan pada akses terhadap vaksin, kemampuan distribusi serta hambatan kepercayaan publik atas vaksin.  

Sementara itu obat yang tepat untuk Covid belum ditemukan. Dalam sejarah farmakologi dibutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan sebuah obat. Anggaran risetnya juga tak sedikit.   Tahun 1962 regulasi obat lebih diperketat dengan diharuskan untuk melakukan uji toksikologi sebelum diuji pada manusia. Setelah itu, sejak tahun 1970-an hingga 1990-an mulai banyak dilaporkan kasus efek samping obat yang sudah lama beredar. Demikian dikutip dari bppsdmk.kemkes.go.id. 

Lebih lanjut dalam situs tersebut dijabarkan bahwa pada tahun 1970-an Klioquinol dilaporkan menyebabkan neuropati subakut mielo-optik. Efek samping ini baru diketahui setelah 40 tahun digunakan. Dietilstilbestrol diketahui menyebabkan adenocarcinoma serviks, setelah 20 tahun digunakan secara luas. Selain itu masih banyak lagi penemuan Efek Samping Obat (ESO) yang menyebabkan pencabutan ijin edar atau pembatasan pemakaian. 

Berbagai kejadian ESO yang dilaporkan memicu pencarian metode baru untuk studi ESO pada sejumlah besar pasien. Hal ini memicu pergeseran dari studi efek samping ke studi kejadian ESO. Tahun 1990-an dimulai penggunaan Farmakoepidemiologi untuk mempelajari efek obat yang menguntungkan, aplikasi ekonomi kesehatan untuk studi efek obat, studi kualitas hidup, dan lain-lain. 

Studi Farmakoepidemiologi semakin berkembang, dan pada tahun 1996 dikeluarkanlah Guidelines for Good Epidemiology ractices for Drug, Device, and Vaccine Research di Amerika Serikat (USA). 

Kini publik juga harus waspada sekaligus memahami jika ada perubahan regulasi terkait obat-obatan. Jika ada hasil penelitian baru maka sangat mungkin perubahan aturan terkait akses dan penggunaan obat ikut berubah. 

Misalnya ketentian tentang daftar obat yang direkomendasikan unt Covid-19. Beberapa hari lalu penggunaan obat antibiotik, Azithromycin, sesuai tata laksana Covid-19, hanya digunakan apabila ada kecurigaan ko-infeksi dengan mikroorganisme atipikal, yakni pada kasus suspek berat dan kritis.  

Sementara penggunaan obat antivirus, Oseltamivir, kriteria diagnosisnya, hanya digunakan jika ada kecurigaan ko-infeksi dengan influenza.  Dan penggunaan Oseltamivir dan Azithromycin adalah sebagai obat tambahan bila diperlukan (dalam perawatan pasien Covid-19). Hal tersebut tentu berdasarkan hasil kajian dan penelitian oleh pihak yang memiliki otoritas dan keahlian paripurna pada batas ikhtiar terbaik manusia.