Optimisme Ekonomi dalam Ketidakpastian Pandemi

BADAN Pusat Statistik mencatat perekonomian Indonesia berhasil tumbuh positif mencapai 7,07 persen (yoy) pada triwulan II-2021, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini juga menandakan bahwa Indonesia telah keluar dari resesi setelah empat kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu mencatat angka yang negatif.
Realisasi ini sesuai dengan prediksi pemerintah yang mengatakan bahwa perekonomian Indonesia akan melesat pada kuartal II/2021. “Kita semua masih optimis bahwa di kuartal II dari yang sebelumnya kuartal I -0,74, -0,74. Di kuartal II kita masih optimis akan tumbuh insya Allah, kurang lebih 7 persen,” ujar Presiden Joko Widodo saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) VIII KADIN Indonesia di Kendari, Sulawesi Tenggara pada 30 Juni 2021 lalu.
Pencapaian ini tentu patut diapresiasi, tetapi tidak boleh terlalu jumawa. Sebab, hal ini tidak menandakan bahwa perekonomian Indonesia telah pulih sepenuhnya. Apalagi hal ini didasarkan pada fenomena low base effect, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu dipengaruhi faktor dari basis pertumbuhan ekonomi yang rendah di tahun sebelumnya. Banyak negara lain juga mengalami hal serupa di masa pandemi ini, meskipun tingkat pertumbuhannya masih lebih tinggi dari Indonesia.
Amerika Serikat misalnya, pada triwulan kedua 2020 pertumbuhan ekonominya terjun bebas di angka -9,1%. Tetapi berhasil mencatat angka positif sebesar 12,2% pada triwulan II/2021. Demikian juga Singapura. Setelah mengalami pertumbuhan -13,3% pada triwulan II/2020, pertumbuhan ekonominya melesat mencapai 14,3% pada triwulan II/2021. Itu artinya, negara-negara lain relatif berhasil memanfaatkan peluang pemulihan ekonomi yang lebih baik dari Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II/2021 juga banyak dipengaruhi oleh mitra dagang utama Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi positif serta harga sejumlah komoditas yang mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai ekspor dan impor yang meningkat tajam, masing-masing sebesar 55% dan 50% bila dibandingkan triwulan II/2020.
Pemulihan ekonomi di China dan Amerika sebagai mitra dagang strategis Indonesia, akan memengaruhi permintaan komoditas-komoditas strategis asal Indonesia. Sebagaimana dilihat dari kenaikan ekspor pada komoditas pertanian, industri pengolahan, dan pertambangan. Pada 2019, nilai perdagangan Indonesia ke China dan Amerika masing-masing mencatat sebesar USD72 miliar dan USD27 miliar. Kinerja perdagangan Indonesia masih negatif dengan China, sementara dengan Amerika mencatat surplus.
Tetapi, momentum pemulihan ekonomi dunia ini juga bukan tanpa ancaman. Penyebaran varian Delta Covid-19 mencemaskan banyak negara yang sudah lebih dulu melakukan pelonggaran. Disebutkan, varian baru ini telah terdeteksi di lebih dari 90 negara di seluruh dunia. Bahkan, pakar penyakit menular Amerika Serikat, Anthony Fauci mengatakan varian Delta menjadi penyebab lebih dari 80% kasus baru Covid-19 AS. Jika situasinya semakin memburuk, akan berpengaruh pada kelanjutan pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Terdapat dua hal yang menggembirakan dari laporan perekonomian Indonesia triwulan II/2021. Pertama, sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor-sektor padat karya, seperti Industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Fenomena ini menandakan bahwa pergerakan ekonomi terjadi pada sektor-sektor yang menyerap lapangan kerja yang cukup besar, dalam bahasa lain pertumbuhan yang berkualitas. Terutama jika dibandingkan sektor jasa yang penyerapan tenaga kerjanya relatif lebih kecil.
Dalam situasinya sedang sulit, menciptakan atau mempertahankan sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja besar adalah hal krusial. Karena hanya dengan bekerja, orang bisa menerima pendapatan dan dengan itulah dia bisa punya daya beli yang akan menggerakan ekonomi. Di hulunya, kebijakan investasi memegang peranan yang penting.
Laju pertumbuhan di sektor ini tidak bisa dilepaskan dari beragam kebijakan yang digulirkan pemeriintah, diantaranya pemberian insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang meningkatkan permintaan kendaraan bermotor. Termasuk mendorong peningkatan produksi obat-obatan untuk memenuhi permintaan domestik dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Sayangnya, sektor pertanian, perkebunan dan perikanan hanya tumbuh 0,38%. Padahal sektor ini dihuni puluhan juta orang yang bekerja di perdesaan maupun perkotaan. Harus ada langkah-langkah strategis agar sektor ini tetap dinamis, apalagi sekarang penyebaran pandemi sudah mulai menyasar perdesaan. Jika sektor ini lumpuh, ancaman krisis pangan akan jadi sangat mengerikan.
Kedua, masih terjaganya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi. Meskipun sebenarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga bisa lebih tinggi. Kelompok menengah ke atas (berpenghasilan di atas 5 juta) harus terus digenjot membelanjakan uangnya. Di sisi lain, pemerintah juga terus menjaga tingkat konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan beragam kebijakan perlindungan sosial.
Dari sisi investasi, PMTB tumbuh 7,54% yang banyak dikontribusikan dari realisasi belanja modal APBN dan investasi BKPM yang tumbuh 16,21 persen dibanding triwulan 2/2020. Selain harus mempercepat realisasi belanja modal di pusat maupun daerah, percepatan realisasi investasi agar segera memulai kegiatan ekonominya merupakan prioritas utama. Pemerintah juga harus terus memperbanyak model-model kolaborasi antara UMKM dengan investor sehingga manfaat investasi merata bagi banyak kalangan.
Singkatnya, apa yang telah dicapai dalam upaya pemulihan ekonomi harus dipandang secara optimis. Bagaimanapun, ekonomi Indonesia sedang berada pada jalur pandemi. Tidak mudah mencapai keseimbangan di tengah situasi pandemi yang masih tinggi.
Tetapi penting digarisbawahi, meraih target-target pertumbuhan ekonomi penting, tetapi yang lebih penting adalah di balik angka-angka tersebut. Pertumbuhan tinggi jika tidak berkualitas, hanya akan dinikmati segelintir orang dan menimbulkan residu bagi lingkungan dan sosial. Penciptaan lapangan kerja, mengatasi ketimpangan sosial dan pemerataan pembangunan antara Jawa dan luar jawa, serta keberlanjutan lingkungan harus menjadi platform utama dalam pembangunan sebagaimana amanat konstitusi.
Pekerjaan Rumah terbesar pemerintah saat ini tetap mengatasi kesehatan. Strategi 3T (Testing, Tracing, Treatment) dan kecepatan vaksinasi menjadi kunci. Apalagi, survey-survey lembaga internasional masih menempatkan Indonesia dengan prospek tingkat pemulihan dan penanganan Covid-19 yang masih rendah. Memang tidak ada rumus atau teori baku menangani pandemi kali ini. Semua komponen bangsa, baik pemerintah, politisi, masyarakat, dunia usaha, dan yang lain harus kompak dan gotong-royong. Tanpa itu semua, Indonesia akan sangat terlambat untuk pulih. Kita harus optimis!