Kolaborasi untuk Kemerdekaan Belajar

Kepedulian pemerintah atau siapa pun terhadap pendidikan non formal juga tidak perlu termaktub dalam posisi struktural/jabatan, tapi pada aspek fungsional. Kuncinya adalah kolaborasi.

Kolaborasi untuk Kemerdekaan Belajar
Ilustrasi foto/Istock.
Semua pihak harus berkolaborasi dan menjalankan peran serta fungsinya secara terpadu dan kolaboratif untuk memajukan pendidikan anak di usia emasnya (golden age).

SELAIN membawa keuntungan saintis dan teknologis, revolusi industri juga melahirkan efek bawaan yang mendisrupsi kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dan keluarga sebagai institusi terendah dalam relasi sosial merupakan yang paling dramatis dan mengkhawatirkan.

Ada pergeseran peran dan penurunan keintiman antar anggota keluarga, terutama soal relasi anak dan orangtua serta peran edukasi dini orangtua dalam lingkungan keluarga.

Tugas-tugas pedagogis populer (volkspädagogischen) pun meminjam perkatannya Jurgen Habermas telah dipikul pihak sekolah sendirian. Karena hak dan tugas itu telah ’diberikan’ orangtua kepada sekolah dan konsultasi-konsultasi individu, serta kanal-kanal digital bertema pendidikan.

Kulminasinya, sekolah formal pun kemudian mendominasi peran pendidikan di usia pra-sekolah (PAUD). Efek terakhir dari proses ’pengambilalihan’ peran pendidikan anak dari orangtua oleh sekolah formal adalah, munculnya kesadaran akan kefanaan muatan-muatan tradisi pendidikan sebagai proses budaya.

Padahal norma dan sistem nilai sebelumnya mengakar sangat kuat. Dimana pendidikan dinilai sebagai proses yang tidak struktural-administratif ansich, melainkan juga budaya yang melibatkan semua pihak, institusi bisnis (swasta), pemerintah, hingga orangtua. Tapi kemudian terkena pengaruh, dan membuat sikap-sikap tradisional kehilangan kepastiannya.

Institusi keluarga sejatinya memiliki peran sangat penting dalam proses pembentukan kecerdasan anak. Sementara anak, merupakan generasi penerus yang di pundaknya tersimpan harapan kemajuan bangsa. Bila keluarga gagal mengawal pencerdasan anak, maka apa yang disebut sebagai lost generation kian nyata.

Jean Jacques Rousseau dalam magnum opusnya Du de ’education mengungkapkan “God make every things good; man meddles with them and they become evil.” Bahwa anak memiliki potensi bawaan (fitrah), yaitu potensi inderawi (psikomotorik), IQ, EQ dan SQ.  Sementara keluargalah yang akan membuatnya menjadi basis kompetensi anak.

Partisipasi dan Kolaborasi

Sayangnya, menghadirkan partisipasi dalam situasi ini malah menjadi problematis. Karena partisipasi seringkali tak dilakukan secara terpadu dan kolaboratif, sehingga tak tercipta keseimbangan.

Sekira tahun 2005 misalnya, sebuah laporan dari UNESCO menyebutkan, jika pendidikan anak usia dini di Indonesia hampir 100%-nya dibiayai oleh pihak swasta. Sementara pemerintah hanya menyediakan 0,55% dari anggaran pendidikan. Pos itupun lebih banyak diperuntukan kegiatan pos pelayanan terpadu (Integrated Service Post) dan Bina Keluarga Balita (Mother’s Programme). Padahal dua program tersebut oleh UNESCO tidak disebut sebagai program perencanan pendidikan anak usia dini.

Kondisi tersebut secara tidak langsung menempatkan pemerintah pada aras tekanan kuasa modal (swasta). Pun begitu pihak keluarga, lemah tak berdaya. Satu sisi butuh akses pendidikan, sisi lain biaya pendidikan begitu mahal. Ungkapan bahwa ’orang miskin dilarang sekolah’ pun betul adanya.

Seiring berjalan waktu dan pergantian kekuasaan, model partisipasi pun lalu berubah. Pemerintah mulai meningkatkan partisipasinya, baik dari sisi regulasi maupun anggaran.

Dari sisi anggaran, pemerintah menaikan anggaran yang sebelumnya hanya sebesar 0,1 persen menjadi 0,3 persen. Lalu, untuk mengurangi konflik antagonistik, regulasi dan partisipasi ditingkatkan dan diselaraskan.

Upaya ini cukup berhasil, seperti terlihat dari laporan GEM UNESCO 2015 dimana angka partisipasi dalam perhitungan kasar pendidikan anak usia dini (PAUD) meningkat, dari 28 persen pada 2001 menjadi 70,06 persen pada 2015. Bahkan, Direktorat Jenderal PAUD Kemendikbud di tahun yang sama dianugerasi penghargaan UNESCO untuk Pendidikan Anak dan Perempuan karena dianggap berhasil dalam program penyetaraan gender untuk anak usia dini.

Sayangnya, partisipasi aktif pemerintah ini ternyata malah membuat beberapa pihak berada dalam zona nyaman. Enggan melakukan inovasi apalagi beranjak untuk mandiri.

Akibatnya, ketika perubahan menjadi sesuatu yang pasti, beberapa pihak seolah merasa terzalimi. Padahal, apa yang terjadi merupakan konsekuensi yang tak dapat dihindari.

Peleburan Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat (Dikmas) ke Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) misalnya, sebetulnya dimaksudkan untuk keterpadu­an antara pendidikan nonformal dan formal. Tapi nyatanya, malah dianggap sebagai tindakan yang mendorong beberapa pegiat pendidikan anak usia dini dan pendidikan non formal untuk melakukan harakiri.

Ya, keterpaduan sejatinya memang mendorong kolaborasi, termasuk penggunaan sumber daya pendidikan formal, termasuk gedung, sarana prasarana, ruang kelas, untuk pendidikan nonformal. Upaya ini sebetulnya merupakan implementasi dari prinsip ’Merdeka Belajar’ yang tengah digulirkan Kemendibud. Pesan utamanya bahwa, kepedulian pemerintah atau siapa pun terhadap pendidikan non formal juga tidak perlu termaktub dalam posisi struktural/jabatan, tapi pada aspek fungsional.

Lebih lanjut, peleburan ini juga sebetulnya hendak mengingatkan kembali bahwa keluarga sebagai gerbang utama dan pertama proses pencerdasan anak, harus meraih kembali hak dan tanggung jawabnya yang selama ini telah mereka berikan. Karena walaubagaimanapun keluarga tetaplah merupakan institusi yang memiliki media pendidikan (keteladanan) yang paling efektif dan berpengaruh dalam menyampaikan tata nilai kehidupan yang lebih bermartabat.

Ini sebetulnya juga mengindikasikan, betapa pentingnya regulasi dan partisipasi untuk meredakan ketegangan (dètente) dari semua pihak, baik itu keluarga, sekolah (swasta), pegiat pendidikan, mahasiswa, akademisi, maupun negara dalam proses pencerdasan bangsa terutama pendidikan anak usia dini.

Semua pihak harus berkolaborasi dan menjalankan peran serta fungsinya secara terpadu untuk memajukan pendidikan anak di usia emasnya (golden age). Agar kelak mereka memiliki cara yang beragam dalam belajar, mandiri dan kreatif. Agar mereka ’merdeka’ dalam ’belajar’.