Menakar Efektivitas Gerakan Boikot Unilever

Pepatah mengatakan, hati boleh panas namun hati harus tetap dingin. Kita boleh emosi dan tidak setuju dengan keberpihakan Unilever. Namun upaya memboikot produk ini tidak realistis untuk membuatnya rugi dan gulung tikar.

Menakar Efektivitas Gerakan Boikot Unilever
Sumber gambar: katadata.co.id

MONDAYREVIEW.COM – Unilever adalah perusahaan yang memproduksi barang-barang keseharian masyarakat. Perusahaan ini sempat menjadi topik perbincangan di linimasa karena mendukung Lesbian, Gay, Transeksual dan Queer (LGBTQ). Dalam unggahan instagramnya @unilever, perusahaan unilever yang berpusat di Belanda ini menyatakan komitmennya untuk mendukung gerakan LGBTQ.

Hal ini memancing respon dari berbagai kalangan. Anggota DPR RI Tb. Ace Hasan Syadzili mengatakan seharusnya Unilever memberikan kontribusi kepada hal lain di luar LGBTQ. Masih banyak isu lain yang penting untuk dibantu daripada LGBTQ. Hal senada dikatakan oleh Frans Saragih pengamat sosial politik. Menurutnya pemihakan Unilever terhadap LGBTQ akan membuat Unilever ditinggalkan oleh konsumen muslim di Indonesia.

Banyaknya respon negatif masyarakat Indonesia terkait perusahaannya, Unilever akhirnya angkat bicara. Menurut Sancoyo Antarikso Government and Corporate Affairs Director Unilever, perusahaan ini telah hadir di 180 negara di dunia. Unilever menghargai adat, kebiasaan dan norma di masing-masing negara tempat Unilever berproduksi. Unilever sendiri sudah 86 tahun berada di Indonesia. Dia mengatakan bahwa Unilever menghormati budaya Indonesia.

Sentimen negatif terhadap Unilever rupanya cukup berdampak pada pergerakan saham perusahaan multinasional ini. Tercatat pada 25 Juni 2020 kemarin, saham Unilever mengalami penurunan harga sebesar 2,17%. Hal ini karena investor asing menjual sahamnya sebesar 47,34 miliar. Unilever merupakan salah satu saham yang tinggi peminatnya. Penurunan ini menunjukan bahwa faktor sentimen berpengaruh terhadap kinerja di pasar modal.

Melihat fenomena di atas, timbul pertanyaan, efektifkah gerakan boikot Unilever dalam rangka penolakan terhadap LGBTQ? Sayangnya menurut penulis hal tersebut kurang begitu efektif. Walaupun dalam jangka pendek penolakan ini cukup berpengaruh terbukti dengan turunnya harga saham, namun dalam jangka panjang sepertinya akan sulit.

Hal ini disebabkan oleh isu ini yang akan segera hilang ditelan isu yang lain. Di era media sosial ini, isu datang silih berganti dengan cepat. Sulit membuat gerakan boikot yang solid hanya bermodalkan isu musiman seperti ini. Ditambah lagi yang membuat sulit adalah, masyarakat kita adalah masyarakat yang pelupa dan pemaaf. Masyarakat kita mudah melupakan kasus korupsi yang menimpa pejabat serta memaafkannya.

Soal kasus ini pun akan sama. Sebentar lagi isu boikot Unilever akan hilang tergantikan oleh isu lainnya yang lebih update. Gerakan boikotpun akan menguap, hilang bak ditelan bumi. Boikot semakin sulit dilakukan karena sudah begitu besar dan menancapnya hegemoni Unilever dalam kehidupan kita sehari-hari. Tentu saja masyarakat tidak menyadarinya, karena masyarakat hanya tahu merek tanpa tahu produsennya siapa.

Bayangkan, 86 tahun Unilever sudah berada di negara kita, lebih tua dari usia negara Indonesia. Tentu akan sulit untuk meruntuhkan hegemoninya di negara ini. Lantas kalau boikot tidak efektif, apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mendorong pemerintah memberikan insentif kepada industri dalam negeri agar bisa membuat produk-produk saingan Unilever. Kita tidak bisa anti produk asing, namun kita harus lebih memilih produk dalam negeri. Sekarang bagaimana mau menghasilkan produk dalam negeri jika industrinya saja belum ada?

Pepatah mengatakan, hati boleh panas namun hati harus tetap dingin. Kita boleh emosi dan tidak setuju dengan keberpihakan Unilever. Namun upaya memboikot produk ini tidak realistis untuk membuatnya rugi dan gulung tikar. Solusinya adalah industri dalam negeri harus kuat agar bisa bersaing dan merebut pasar dalam negeri maupun internasional.