Ombudsman Temukan Indikasi Maladministrasi Impor Beras

Ombudsman menilai ada indikasi maladministrasi dalam kebijakan impor beras. Tidak ada koordinasi antar pejabat kementerian. Haruskah Indonesia mengimpor beras menjelang musim panen?

Ombudsman Temukan Indikasi Maladministrasi Impor Beras
konpers Ombudsman

MONDAYREVIEW, Jakarta -- Lembaga Pemantau Kebijakan Publik Ombudsman Republik Indonesia menemukan gejala malaadministrasi terkait keinginan pemerintah mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand.

Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih dalam jumpa pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (15/01/2018), mengungkapkan pihaknya telah menemukan beberapa gejala malaadministrasi dalam kebijakan tersebut.

Pertama, adalah penyampaian informasi stok yang tak akurat kepada publik. Alamsyah mengatakan, Kementerian Pertanian selalu menyatakan bahwa produksi beras surplus  cukup stok berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.

Gejala kenaikan harga sejak akhir tahun, tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar, mengindikasikan kemungkinan proses mark-up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini.

"Akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan keputusan berpotensi keliru," jelasnya.

Hasil pantauan Ombudsman di 31 provinsi pada 10-12 januari 2017, stok di masyarakat memang pas-pasan dan tak merata. Harga juga meningkat tajam. Namun situasi tersebut timbul justru dalam situasi menjelang panen.

Karenanya, Ombudsman menekankan perlunya kehati-hatian dalam penggunaan kewenangan pejabat pemerintahan.

Pasal 6 huruf c Perpres Nomor 48 tahub 2016 mengatur Perum Bulog melakukan pemerataan stok antar wilayah sesuai kebutuhan. Dalam situasi current stock pas-pasan dan tak merata, maka kewenangan yang harus dioptimalkan terlebih dahulu adalah pemerataan stok.

"Maka jika pun harus  impor  tujuannya  untuk meningkatkan cadangan beras dan kredibilitas stok Bulog di hadapan pelaku pasar dalam kerangka stabilisasi harga. Bukan untuk mengguyur pasar," kata Alamsyah.

Kemudian, Pasal 3 ayat (2) huruf d Perpres Nomor 48 tahun 2016,dan diktum KETUJUH angka 3 Inpres No. 5/2015 mengatur bahwa yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga adalah Perum Bulog.

"Penunjukan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai importir berpotensi melanggar Perpres dan Inpres," tegas Alamsyah.

Ombudsman juga mempertanyakan koordinasi pejabat di lingkaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam melakukan evaluasi pelaksanaan Inpres tersebut. Bagaimana peran Deputi terkait dalam mengelola dan mensinkronkan informasi dan data dari setiap kementerian dan lembaga yang dikoordinasi.

Lalu, Ombudsman menilai, Permendag nomor 1 tahun 2018 yang dibuatbk begitu cepatdl dan tanpa sosialisasi juga berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan. Beberapa potensi penyimpangan kepentingan di antaranya:

Apakah impor beras khusus termasuk yang diatur Pemerintah penugasannya?, Apakah kelangkaan beras khusus yg menyebabkan naiknya harga beras?

Lalu terkait pengalaman PT PPI yang ditunjuk sebagai importir dalam melaksanakan operasi pasar.

"Mengingat margin yang tinggi antara harga beras impor dengan harga pasar domestik dan Harga Eceran Tertinggi (HET) siapa yang akan paling diuntungkan jika impor dilakukan bukan untuk tujuan berjaga2?" tutur Alamsyah.

Editor: Elbach