Momentum Strategis Pernikahan UMKM dan Koperasi
'kelompok-kelompok dengan `ashabiyah yang kuat akan dapat mengungguli dan mendominasi kelompok-kelompok dengan`ashabiyah yang lemah.'

KEINGINAN pemerintah menciptakan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat dalam bentuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui penguatan UMKM sudah diikrarkan sejak awal masa kemerdekaan.
Berbagai program pembangunan sudah diluncurkan, begitu juga dengan skema pembiyaan sudah dijalankan, namun hingga saat ini harapan kesejahteraan dalam konteks pemberdayaan ekonomi rakyat pun tetap jadi sekadar harapan.
Selalu saja ada kendala untuk mengoptimalkan pembangunan ekonomi kerakyatan dari satu rezim ke rezim lainnya. Bahkan, peranan koperasi kian hari malah kian menyurut dalam pembangunan ekonomi. Kalah popular dan ekspansif dengan para pencari rente.
Sebagian ekonom bahkan mempertanyakan apakah koperasi merupakan elternatif kelembagaan untuk memberdayakan UMKM, atau sekadar pelengkap dan cerita penghibur di kala ekonomi lesu saja. Krisis tahun ’98 atau bahkan saat ini di tengah pandemi covid-19, klaim bahwa UMKM memiliki ketahanan berlebih pun seolah fatamorgana belaka. Manis diungkapkan, namun nyatanya pahit dirasakan.
Karena itu, rencana Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menikahkan UMKM dan koperasi agar keduanya menjadi arus utama dalam pembangunan ekonomi nasional merupakan kabar gembira bagi pelaku UMKM dan koperasi yang saat ini tengah menjerit.
Teten mengatakan, bergabungnya UMKM dalam koperasi akan memudahkan pemerintah turun tangan menangani permasalahan yang dihadapi UMKM. “Artinya, pemerintah tidak harus membuat rantai kendali yang panjang, tapi bisa kerja sama dengan koperasi-koperasi yang kemudian mengajak UMKM bergabung ke koperasi,” katanya.
Sejalan dengan keinginan tersebut, saat awal menjabat sebagai MenkopUKM, Teten membuat kebijakan khusus tentang penyaluran dana bergulir. Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (LPDB-KUMKM) sebagai salah satu BLU KemenkopUKM 100 persen menyalurkan dana bergulir ke koperasi.
“Kalau kita sederhanakan struktur kelembagaannya, yaitu UMKM gabung menjadi anggota koperasi, gabung dengan yang sudah ada atau bikin yang baru, sehingga akan lebih mudah bagi pemerintah untuk menyalurkan pembiayaan lewat koperasi; kita sudah exercise dengan LPDB,” ujar Teten.
Seperti diketahui paling tidak saat ini jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64 juta unit usaha atau 99 persen dari total unit usaha di dalam negeri. UMKM tersebut tersebar hampir merata di seluruh Tanah Air dengan berbagai macam permasalahan yang dihadapinya.
Beberapa persoalan yang mesti dihadapi dan dicarikan solusinya misalnya pertama soal pembiayaan. Karena hingga saat ini kita atau pemerintah dalam hal ini belum juga mampu memberikan skema pembiayaan yang bisa memberikan kemudahan. Peran ini malahan diambil alih oleh bank keliling.
Tak dapat dipungkiri jika bank keliling dan para pelepas uang lebih menarik bagi sebagian besar pelaku usaha kecil yang belum bankable. Pikirnya, ketimbang ribet dengan sekala macam tata aturan administrastif lebih baik meminjam dari mereka.
Jika koperasi kelak dipercaya untuk membuat rantai kendali permodalan, maka faktor kemudahan ini mesti jadi perhatian utama. Karena jika tidak, maka tidak akan ada bedanya. Malahan, bisa melahirkan persoalan baru.
Upaya kedua dan juga tak kalah penting yang harus dilakukan agar UMKM dapat jadi bagian dalam arus utama pembangunan ekonomi nasional adalah dengan menerapkan tata kelola yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Upaya ini menjadi penting karena selama ini UMKM masih dianggap belum memerlukan tata kelola perusahaan yang baik. Padahal UMKM berkontribusi besar pada ekonomi Indonesia.
GCG menjadi sangat penting, karena dianggap bisa menjamin kualitas dan keberlangsungan perusahaan UMKM. Faktanya, selama ini keberlangsungan bisnis UMKM di Indonesia kebanyakan hanya bertahan selama 10 tahun.
Bandingkan dengan keberadaan UMKM di negara-negara maju atau yang paling dekat di negeri jiran, Malaysia. Mereka bisa bertahan lebih lama. Belum lagi jika melihat Peringkat GCG Indonesia yang ternyata masih rendah di banding Malaysia, Singapura dan Philipina.
Soal pemasaran dan pengembangan usaha tentu saja juga penting, dan dalam model bisnis apa pun harus menjadi perhatian. Karena bila tidak, maka seperti disebut sebelumnya, usia bisnis UMKM tak lebih dari sepuluh tahun. Timbul lalu tenggelam.
Satu hal lagi yang semestinya juga jadi perhatian jika pemerintah ingin menarik UMKM dan Koperasi dalam pusaran pengembangan ekonomi nasional adalah soal solidaritas kelompok, atau apa yang disebut Ibnu Khaldun sebagai ‘ashabiyah.
Tentu saja ini tidak dimaksudkan untuk melahirakan kecenderungan etnosentrisme dan penyakit sosial lainnya dalam masyarakat majemuk yang demokratis seperti Indonesia. Namun lebih untuk melahirkan solidaritas sosial dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan solidaritas kelompok yang terbentuk diharapkan penyertaan modal yang diberikan melalui koperasi dalam menciptakan kekompakan untuk memajukan UMKM.
Tesis utamanya menurut Ibnu Khaldun, 'kelompok-kelompok dengan `ashabiyah yang kuat akan dapat mengungguli dan mendominasi kelompok-kelompok dengan`ashabiyah yang lemah.'