Oknum TNI AL Penganiaya Anak Dibawah Umur Divonis Delapan Bulan, LBH: Putusan Belum Adil

MONDAYREVIEW.COM, Bandung - Pengadilan Militer Bandung menjatuhkan hukuman penjara selama delapan bulan kepada oknum anggota TNI AL Koptu Mar Saheri (42).

Oknum TNI AL Penganiaya Anak Dibawah Umur Divonis Delapan Bulan, LBH: Putusan Belum Adil
persidangan Oknum TNI AL Saheri/(LBH Jakarta dan LBH Bandung)

MONDAYREVIEW.COM, Bandung - Pengadilan Militer Bandung menjatuhkan hukuman penjara selama delapan bulan kepada oknum anggota TNI AL Koptu Mar Saheri (42).

Pada Desember 2015 lalu, Saheri diketahui melakukan penganiayaan dan pengeroyokan kepada anak dibawah umur HA (14) dan SKA (13).

“Menghukum terdakwa pidana penjara selama 8 (delapan) bulan, tok (palu diketok)," ucap Hakim Ketua Letkol CHK Kowad Nanik, saat membacakan amar putusan, di Pengadilan Militer Bandung, Selasa (23/8), seperti tertulis dalam keterangan pers LBH Jakarta bersama LBH Bandung kepada mondayreview.com.

Dua lembaga bantuan hukum itu menuturkan, dalam persidangan sebelumnya, terungkap bahwa HA dan SKA telah mengalami penganiayaan dan pengeroyokan pada Desember tahun 2015. Mereka diteriaki “maling” oleh Saheri saat sedang melintasi rumah anggota TNI AL itu di Komplek Graha Kartika Pratama, Cibinong, Kabupaten Bogor.

Kontan teriakan itu memicu sejumlah warga yang langsung panas dan bersama Saheri mengejar motor yang ditumpangi HA dan SKA.

Tanpa basa-basi, Saheri dan sejumlah warga memukuli muka dan badan mereka. Tubuh SKA ditelanjangi juga dicambuk oleh oknum anggota TNI AL itu. Sejumlah warga pun berniat membakar tubuh mereka berdua. Kejadian itu disaksikan oleh banyak warga setempat, juga orang tua SKA yaitu Wintarsih dan Inang.

Atas kejadian yang dialami anaknya, orang tua korban melaporkan peristiwa tersebut baik ke Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL) juga ke Polres Depok. 

Pemeriksaan BAP pada kedua perkara sudah rampung sejak awal tahun, namun awal Agustus persidangan militer baru digelar, sementara perkara di Polres Depok tidak kunjung menemui titik terang.

Di muka persidangan, terdakwa mengakui seluruh perbuatannya sesuai cerita HA, SKA, dan para saksi. Tuntutan yang dibacakan pada tanggal 16 Agustus 2016 lalu pun menuangkan hal-hal yang memberatkan, diantaranya terdakwa melanggar Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan Wajib TNI yang hanya melekat pada aparat negara, dalam hal ini TNI, dan utamanya korban merupakan anak. 

Namun demikian, fakta persidangan disebut diputar balikkan dan tuntutan pidananya sangat ringan, yaitu lima bulan.

Pada persidangan siang tadi, majelis hakim mempertimbangkan sendiri putusannya tanpa mengindahkan tuntutan Oditur dan memperberat tuntutannya. Hakim menilai korban merupakan anak yang semestinya dilindungi termasuk oleh terdakwa Saheri.

Mendengar putusan hakim, HA hanya bisa menangis. Kepada pendamping ia menyampaikan bahwa hukuman kepada Saheri disebut tidak adil. 

"Ini tidak adil. Akibat kejadian itu, kepala saya sering pusing. Nama saya buruk karena dikira maling. Kenapa dia enggak dihukum berat," seru HA.

Ayah HA, Harjoni Tutut, juga mengungkapkan ketidakpuasaan putusan hakim atas penganiayaan yang dilakukan Saheri kepada anaknya.

“Saya tidak puas dengan putusan ini. Itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi pada anak saya, HA," tuturnya, kecewa, usai persidangan di Pengadilan Militer.

"Di aturannya, hukuman maksimal kan 3 tahun 6 bulan semestinya hukum memberikan hukuman setimpal dengan perbuatannya. Itu kan masih anak di bawah umur. Apalagi pelakunya aparat. Mestinya tanggungjawabnya dan kewajibannya lebih besar dari masyarakat biasa,” sambung Harjoni.

Sementara itu, Wintarsih, ibu korban SKA turut melontarkan kekecewaannya. “Anak saya nyaris dibakar karena dipicu oleh terdakwa. Kalau saya tidak datang, mungkin anak saya sudah jadi arang. Perbuatan keji macam itu ternyata tidak dianggap serius ya. Toh hukumannya hanya begini saja," tandasnya.

Di sisi lain, kuasa hukum para anak korban dari LBH Jakarta, Bunga Siagian, mengapresiasi putusan yang tidak mengacu pada tuntutan Oditur. 

Namun, ia menyayangkan putusan hakim yang masih terkesan melindungi pelaku dan dipengaruhi oleh semangat korps. 

“Kami mencatat setidaknya 3/4 dari sekitar 40 putusan pengadilan militer untuk kasus penganiayaan pada dua tahun terakhir memberikan hukuman yang tidak lebih dari 4 (empat) bulan kepada pelaku. Bahkan pada kondisi yang korbannya mati, hanya dikenakan pidana 7 bulan," papar Bunga.

"Itu pun dengan tambahan pernyataan ‘dengan perintah supaya pidana itu tidak usah dijalani’ yang artinya sama saja dengan melepaskannya dari tanggung jawab pidana. Karena ini korbannya anak semestinya pemberatan diberikan secara ekstrim," lanjut dia.

Lebih lanjut, Pengacara korban dari LBH Bandung, Riefqi Zulfikar, juga menyampaikan kekecewaannya terhadap isi putusan hakim. Ia menilai proses peradilan militer di Indonesia masih belum dapat independen selama pelaku kejahatan yang korbannya masyarakat sipil masih diadili oleh peradilan militer juga. 

“Harus ada reformasi. Undang-undang sudah memungkinkan kok pelaku tindak pidana diadili di peradilan umum. Masalahnya belum ada niatan dari para pemangku kebijakan untuk mengatur teknis sistem tersebut. Padahal tujuannya semata-mata memenuhi rasa keadilan masyarakat," tukas Riefqi.

Korban dan keluarga berharap, putusan ini dapat ditinjau kembali hingga memenuhi rasa keadilan masyarakat. 

“Kami ingin Oditur mengajukan banding ke Pengadilan Militer Utama. Tapi nyatanya ia menerima putusan. Apa boleh buat. Kalau memang akhirnya Saheri banding saya harap dapat diperberat," tutup ayah HA, Harjoni.

FAHREZA RIZKY